Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo atau Didit Hediprasetyo bukan politisi. Tapi dalam safari Lebaran politik 2025, ia muncul sebagai aktor kunci rekonsiliasi politik Indonesia. Ia tidak membawa bendera partai, tidak pula menyampaikan janji elektoral. Namun langkahnya menuju Teuku Umar, rumah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri, membawa pesan yang tak bisa diabaikan: jalan damai elite bisa ditempuh tanpa mikrofon dan panggung resmi.
Putra tunggal Presiden Prabowo Subianto ini menyampaikan salam dari sang ayah. Ia juga membawa pesan balik dari Megawati untuk Prabowo. Peran yang ia mainkan bukan sekadar simbolik. Justru karena ia tidak tampil seperti politisi, ia dipercaya. Ia tidak bersuara lantang, tapi didengar.
Di tengah ketegangan pasca-Pemilu 2024, langkah sunyi Didit menawarkan pendekatan baru. Ia adalah jembatan informal yang menghubungkan elite tanpa gaduh. Tapi yang lebih menarik, ia bukan satu-satunya. Ada juga Puan Maharani dan Prananda Prabowo. Tiga nama dari tiga dinasti politik: Sukarno, Soeharto, dan Prabowo Subianto. Tapi gaya mereka berbeda. Puan struktural, Prananda strategis, dan Didit kultural.
Sebagai anak dari Titiek Soeharto, Didit Hediprasetyo adalah cucu Presiden Soeharto. Ia dikenal luas sebagai desainer mode kelas dunia. Ia pernah merancang interior mobil BMW Seri 7 edisi terbatas. Lulusan Parsons School of Design, New York dan École Parsons à Paris. Jauh dari hiruk-pikuk politik. Tapi ia masuk ke dalamnya, dari pintu budaya.
Ulang tahunnya ke-41 menjadi bukti lain pengaruh senyapnya. Semua anak presiden Indonesia hadir: Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep, Agus Harimurti Yudhoyono, Puan Maharani, Guruh Sukarnoputra, Ilham Habibie, Yenny Wahid. Tentu ibunya Titiek Soeharto dan sejumlah tokoh publik lainnya. Sebuah forum diplomasi generasi kedua elite Indonesia, yang lebih cair namun penuh makna politik.
BACA JUGA:
Di tengah isu ekonomi yang tak menentu—melemahnya rupiah, lonjakan harga, hingga ancaman tarif impor dari Amerika Serikat—kehadiran tokoh seperti Didit menjadi menarik. Ia menciptakan ruang dialog. Tapi sekaligus menimbulkan pertanyaan: jika hanya anak-anak elite politik yang bisa menyelesaikan konflik elite, di mana posisi rakyat?
Demokrasi sejatinya soal partisipasi publik. Jika jalan menuju Istana hanya bisa ditempuh dari Teuku Umar atau rumah keluarga elite lainnya, maka ini bukan rekonsiliasi untuk rakyat, tapi hanya redistribusi kekuasaan antar elite.
Dalam pertemuan Megawati dan Prabowo di Teuku Umar, tampak Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Ketua MPR yang juga Sekjen Gerindra Ahmad Muzani. Ada juga Menko Polkam Budi Gunawan serta politisi senior PDIP, Sidarto Danusubroto. Mereka menyambungkan suara elite, memastikan dialog berjalan tanpa gesekan. Tapi yang mencuri perhatian tetap Didit Hediprasetyo, karena kehadirannya melampaui jabatan dan struktur formal. “Bicara bagaimana masa depan Indonesia dan bagaimana kebersamaan membangun Indonesia ke depan,” kata Sufmi Dasco Ahmad kepada wartawan soal isi pertemuan tersebut.
Didit Hediprasetyo telah membuka jalan. Tapi itu baru awal. Jalan sunyi yang ia tempuh bisa menjadi inspirasi—atau justru menjadi simbol eksklusivitas politik yang makin jauh dari rakyat. Semua tergantung: apakah jalan itu akan membuka sistem, atau hanya melanggengkan politik keturunan.