Langkah pemerintah yang akan memberikan konsesi tambang kepada perguruan tinggi adalah kebijakan yang berbahaya. Alih-alih memperkuat pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, kebijakan ini justru mengancam independensi akademik dan menciptakan konflik kepentingan.
Perguruan tinggi didirikan untuk menjalankan Tri Dharma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, dengan hak mengelola tambang, kampus diarahkan menjadi entitas bisnis berorientasi profit.
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Fathul Wahid menyatakan bisnis pertambangan bukan wilayah perguruan tinggi. Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB Prof. Ir. Ridho Kresna Wattimena mempertanyakan kesiapan kampus dalam mengelola tambang. Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan kebijakan ini hanya akan menimbulkan masalah baru. Jika para akademisi sendiri meragukan kebijakan ini, siapa yang diuntungkan?
Salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah bahwa bisnis tambang bisa menjadi solusi bagi biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal. Namun, anggapan ini hanyalah ilusi. Mengelola tambang bukan sekadar menggali dan menjual mineral. Diperlukan modal besar, teknologi canggih, serta pengalaman manajerial yang tidak dimiliki institusi akademik.
Perusahaan tambang swasta dan BUMN pun kerap menghadapi berbagai masalah, dari pencemaran lingkungan hingga konflik sosial. Jika perusahaan profesional saja menghadapi tantangan ini, bagaimana dengan kampus yang seharusnya fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan? Kebijakan ini hanya akan memperbesar potensi penyalahgunaan izin dan memperlemah kredibilitas perguruan tinggi.
Pemberian izin tambang kepada kampus bisa menjadi alat kooptasi. Kampus yang mendapat izin tambang berpotensi kehilangan independensinya karena terikat kepentingan dengan penguasa dan korporasi.
Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL UGM Gabriel Lele di media menyebut kebijakan ini bisa menjadi upaya pembungkaman terhadap perguruan tinggi. Jika kampus yang seharusnya menjadi tempat berpikir kritis kini harus berhadapan dengan bisnis besar, bagaimana mungkin mereka bisa tetap objektif dalam mengkritik kebijakan pemerintah?
BACA JUGA:
Pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi berkaitan erat dengan revisi UU Minerba yang sarat kontroversi. Muhammadiyah, melalui perwakilan Pimpinan Pusat Syahrial Suandi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi DPR mengenai RUU Minerba, mengkritisi banyak pasal karena dinilai membuka celah bagi eksploitasi tanpa akuntabilitas. Suara penolakan datang dari berbagai pihak, termasuk akademisi dan aktivis lingkungan.
Anggota MPR, Al Hidayat Samsu, mengingatkan bahwa izin tambang bagi kampus hanya akan membebani dunia akademik. Kampus bukan tempat bisnis, melainkan lembaga pendidikan yang seharusnya mencetak generasi berpikir kritis dan inovatif, bukan menjadi pengelola tambang.
Kebijakan ini bertentangan dengan esensi pendidikan tinggi. Alih-alih memberikan solusi terhadap biaya pendidikan, pemberian konsesi tambang hanya akan menjerumuskan kampus dalam pusaran bisnis yang penuh konflik kepentingan.
Kampus adalah lembaga pendidikan, bukan bisnis. Memang, kampus ada yang mempersiapkan mahasiswa untuk terjun ke dunia industri setelah lulus. Tetapi tugas utama kampus adalah mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat. Jika kampus terlibat dalam bisnis tambang, bagaimana mereka bisa tetap fokus menjalankan Tri Dharma perguruan tinggi? Hentikan wacana ini sebelum terlambat.