Bagikan:

JAKARTA - Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto secara mendadak mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Usulan ini mengejutkan publik karena diajukan di tengah masa reses DPR. Revisi yang diklaim sebagai inisiatif DPR ini menjadi sorotan karena dianggap tidak transparan dan tergesa-gesa.

Revisi mendadak ini memunculkan banyak pertanyaan, terutama karena UU Minerba tidak masuk dalam daftar 47 undang-undang prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2024. Publik menduga dorongan revisi berasal dari pemerintah, bukan sepenuhnya inisiatif DPR. Rumor menyebutkan, ide revisi ini berawal dari pertemuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang mengusulkan pemberian izin tambang kepada organisasi masyarakat (Ormas) untuk menghargai peran mereka dalam menjaga stabilitas politik selama pemerintahan sebelumnya.

Aturan ini sebelumnya telah dirancang melalui PP 96 Tahun 2021, yang kemudian diubah menjadi PP 25 Tahun 2024. Namun, PP tersebut tidak bisa diterapkan karena bertentangan dengan UU yang mensyaratkan mekanisme lelang dalam pemberian izin tambang. Oleh karena itu, pemerintah berupaya mengubah UU Minerba agar sesuai dengan kebijakan pemberian izin tambang melalui skema prioritas.

Proses revisi ini berlangsung sangat cepat, bahkan dalam hitungan jam setelah rapat panitia kerja. DPR langsung menggelar rapat pleno tertutup untuk menyetujui revisi. Pimpinan sidang, Ahmad Sufmi Dasco, meminta pandangan fraksi-fraksi diberikan secara tertulis untuk menghemat waktu. Akibatnya, naskah akademik revisi baru muncul setelah rapat pleno selesai, memicu kritik dari berbagai pihak.

Revisi ini juga menuai polemik karena tidak hanya mencakup pemberian izin tambang untuk Ormas, tetapi juga untuk kampus, koperasi, dan UMKM. Alasannya, kampus dapat memanfaatkan pendapatan tambang untuk menurunkan biaya kuliah dan mendukung riset, sementara koperasi dan UMKM diharapkan dapat meningkatkan kemandirian ekonomi. Namun, banyak yang mempertanyakan urgensi kebijakan ini.

Izin Tambang untuk Ormas

Pemberian izin tambang untuk Ormas didasari oleh PP 25 Tahun 2024, yang dirancang sebagai bentuk penghargaan kepada Ormas keagamaan atas kontribusi mereka selama pemerintahan sebelumnya. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, pernah berdalih bahwa Ormas memiliki peran penting sejak masa perjuangan kemerdekaan, tetapi belum pernah mendapatkan imbalan nyata.

Namun, PP ini terhambat karena tidak memiliki cantolan hukum di tingkat UU. Dalam UU yang ada, izin tambang hanya dapat diberikan melalui mekanisme lelang. Skema prioritas seperti dalam PP 25/2024 dianggap bertentangan dengan ketentuan tersebut, sehingga kebijakan ini tidak bisa berjalan tanpa revisi UU Minerba.

Kampus dan UMKM dalam Revisi UU Minerba

Selain Ormas, revisi UU Minerba juga memasukkan klausul pemberian izin tambang untuk kampus dan UMKM. Pemerintah beralasan, universitas dapat memanfaatkan pendapatan tambang untuk menurunkan biaya kuliah dan memperbaiki fasilitas pendidikan. Ketua Badan Legislasi DPR, Bob Hasan, bahkan menyebut ini sebagai upaya menekan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kampus juga diharapkan dapat memanfaatkan tambang sebagai laboratorium lapangan bagi mahasiswa.

Namun, alasan ini memicu kritik. Banyak yang menduga kebijakan ini digunakan untuk menjinakkan kampus dan mahasiswa yang kerap menjadi motor kritik terhadap pemerintah. Selain itu, keterlibatan UMKM di sektor tambang juga dipertanyakan. Dikhawatirkan, keberadaan tambang justru akan merusak ekosistem dan mematikan usaha kecil lain, seperti sektor pariwisata berbasis alam.

Desakan untuk Membatalkan

Berbagai kejanggalan dalam proses revisi UU Minerba memicu kritik tajam. Publik menyoroti minimnya transparansi, tidak adanya partisipasi masyarakat, dan proses legislasi yang dinilai tergesa-gesa. ICW, salah satu organisasi yang vokal menentang revisi ini, menyebut bahwa langkah ini tidak konstitusional karena melanggar putusan Mahkamah Konstitusi tentang partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan.

Selain itu, ICW juga mengkritik pemberian izin tambang melalui skema prioritas, yang dianggap membuka peluang besar bagi praktik korupsi, seperti suap kepada pejabat daerah. Mereka menilai, revisi ini tidak lebih dari upaya membagi-bagi izin tambang kepada pihak tertentu dengan alasan yang lemah.

Revisi ini dinilai bertentangan dengan komitmen Indonesia terhadap perlindungan lingkungan. Kajian dari Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP) menyebut bahwa revisi ini tidak memenuhi syarat formil karena tidak melalui perencanaan yang jelas dan tidak masuk Prolegnas. Direktur PUSHEP, Bisman Bhaktiar, menilai, pemberian izin tambang untuk kampus, koperasi, dan UMKM hanya menjadi gimmick politik tanpa dasar yang kuat.