Bagikan:

JAKARTA – Revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang disahkan DPR pada Kamis (23/1/2025) menjadi sorotan. Salah satu isi UU tersebut memungkinkan perguruan tinggi mengelola tambang.

Dalam rapat penyusunan RUU Minerba, Pasal 51A mengatur pemberian tata kelola wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi. Pemberian tersebut dapat dilakukan dengan cara prioritas, dan akan diberikan kepada perguruan tinggi dengan akreditasi minimal B.

Dengan pemberian izin usaha pertambangan (IUP), perguruan tinggi akan memiliki hak untuk mengelola tambang sendiri, seperti izin yang diberikan kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan pada 2024.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengklaim, pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi demi membantu proses pendanaan bagi mahasiswa dan dosen dalam proses administrasi serta pembelajaraan sehingga dapat membantu mengurangi biaya kuliah.

Suasana rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Kementerian ESDM, MUI, PUI, Walhi, dan lain-lain, di Jakarta, Kamis (23/1/2025). (ANTARA/Putu Indah Savitri)

"Saya pikir kalau semangatnya adalah bagaimana kemudian memberikan atau mencarikan dana untuk universitas-universitas. Mekanisme pengerjaan dan lain-lainnya itu silakan nanti diatur," kata Dasco dalam rapat paripurna DPR RI, Kamis (23/1/2025).

Beragam Respons Perguruan Tinggi

Rencana perguruan tinggi mengelola tambang mendapat respons beragam dari sejumlah kampus. Universitas Gadjah Mada (UGM) menegaskan belum menerima informasi usulan hak kelola tambang dan belum membahasnya.

Sekretaris UGM Andi Sandi menuturkan, pihaknya belum mengeluarkan pernyataan resmi apa pun mengenai rencana pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi.

Di sisi lain, Rektor Universitas Airlangga (Unair) Mohammad Nasih menyambut baik wacana ini. Tapi ia sadar, bisnis tambang bukan hal mudah karena kampus belum bisa menghasilkan keuntungan pada tahap awal.

Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) juga menyatakan kesiapan mengelola tambang jika mendapat perintah. Rektor UNY Sumaryanto menegaskan, civitas akademika seperti dosen, tenaga didik, mahasiswa, alumni, dan mitra kerja UNY siap jika diminta terlibat dalam pengelolaan tambang.

Sementara itu, suara berbeda dilantunkan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta melalui rektor Fathul Wahid. Ia menegaskan pengelolaan bisnis pertambangan bukan domain perguruan tinggi.

"Kalau saya ditanya, UII ditanya, jawabannya termasuk yang tidak setuju, karena kampus wilayahnya tidak di situ," ujar Fathul.

Fathul menekankan agar perguruan tinggi tidak terlibat langsung dalam pengelolaan tambang, tetapi fokus pada misi utama yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Ilusi yang Berulang

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menegaskan, izin kelola tambang untuk kampus membuat pendidikan makin jauh dari amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Alih-alih mengelola tambang, kata Ubaid, kampus memiliki peran sebagai sarana pendidikan, pengabdian, penelitian. Apalagi jika melihat kualitas perguruan tingi Indonesia yang tertinggal dibandingkan kampus lain di luar negeri.

“Kualitas perguruan tinggi kita masih buruk dibandingkan negara tetangga, apalagi kalau level global, tidak masuk 100 besar kampus terbaik. Lalu mau disuruh ngelola tambang?” kata Ubaid ketika dihubungi VOI.

“Suruh urus pendidikan saja enggak beres, kok mau urus tambang, ya tambah berantakan,” ia menambahkan.

Pekerja menambang biji timah menggunakan ponton isap produksi di perairan Pantai Matras, Sungai Liat, Sinar Baru, Kabupaten Bangka, Senin (27/1/2025). (ANTARA/Nova Wahyudi/YU)

Salah satu alasan pemberian izin kelola tambang kepada perguruan tinggi, menurut pemerintah, adalah demi membantu mengurangi biaya uang kuliah tunggal atau UKT. Dengan demikian, diharapkan dapat meringankan beban mahasiswa.

“Pernyataan itu hanya halusinasi,” ucap Ubaid.

Menurut pengamatannya, argumentasi ini sudah digaungkan sejak 10 tahun lalu melalui UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Saat itu pendidikan tinggi diizinkan berbisnis dalam aturan tersebut dengan dalih kalau kampus memiliki banyak profit dari bisnis, maka UKT akan rendah.

“Namun kenyataann UKT terus meroket dalam satu dekade terakhir, dan menjadi perhatian banyak kalangan. Akses ke pendidikan tinggi makin elite, makin sulit dijangkau,” kata Ubaid.

“Kampus diizinkan berbisnis demi meringankan UKT adalah halusinasi. Jadi jangan diulangi lagi ilusi-ilusi ini,” ujar Ubaid menegaskan.

Merusak Muruah Pendidikan

Sementara itu, pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai aturan kampus boleh mengelola tambang di RUU Minerba akan merusak muruah pendidikan tinggi. Menurutnya, tidak seharusnya perguruan tinggi dilibatkan sebagai pengelola tambang dan hanya fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan.

"Saya kira ini RUU yang akan semakin merusak muruah pendidikan tinggi khususnya PTN/PTNBH karena arah PTN/PTNBH menjadi semakin tidak jelas antara mengembangkan ilmu pengetahuan dengan bisnis tambang," kata Darmaningtyas.

Lebih lanjut, ia juga khawatir tenaga-tenaga pendidikan di kampus lebih sibuk mengurus tambang daripada mengajar sehingga membuat fungsi pendidikan di perguruan tinggi terganggu.

Mahasiswa UIN Bandung menolak membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)

Dengan aturan yang membolehkan perguruan tinggi mengelola tambang, juga bisa membahayakan proses demokrasi lantaran kampus tidak lagi kritis karena ditundukkan izin tambang pemerintah.

"PT harusnya menjaga kebenaran, tapi kalau dia sendiri terlibat dalam kerusakan lingkungan misalnya, bagaimana mungkin bisa bersuara jujur dan lantang?" kata Darmaningtyas lagi.