Bagikan:

Ketika Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM yang juga Ketua Umum Partai Golkar, berbicara tentang "tabrak aturan asal tidak ketahuan," banyak yang terkejut. Pernyataan Bahlil tersebut diucapkan dalam Rapat Konsolidasi Pemenangan Pemilukada Provinsi, Kabupaten dan kota se-Provinsi Jawa Barat. Kalimat ini datang di tengah ketegangan menjelang Pemilukada 2024, di mana integritas pemilu menjadi sorotan utama. Tak heran jika ungkapan tersebut mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan. Tak hanya karena implikasi etisnya, tetapi juga karena menunjukkan betapa jauh kita sudah melenceng dari prinsip-prinsip dasar demokrasi.

Dalam banyak berita dan analisis yang telah dipublikasikan, muncul beberapa pertanyaan mendasar. Apakah benar, seperti yang diungkapkan oleh Bahlil, bahwa pelanggaran aturan dapat dibenarkan selama tidak terungkap? Apakah ini mencerminkan keadaan politik saat ini yang dipenuhi dengan kepentingan sesaat? Dia menegaskan bahwa jika pelanggaran itu tidak ketahuan, maka dianggap tidak masalah. Ini menimbulkan kekhawatiran mendalam tentang bagaimana kita memandang hukum dan etika dalam politik.

Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Lodewijk F. Paulus, membela Bahlil Lahadalia dengan mengatakan bahwa pernyataannya itu hanya sebuah guyonan. Katakanlah memang lelucon, namun, komentar Bahlil tersebut menunjukkan fenomena yang lebih besar. Di dunia yang dipenuhi dengan tuduhan kecurangan pemilu dan laporan pelanggaran, apakah kita masih bisa bercanda tentang integritas? Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah menemukan 347 pelanggaran selama masa tenang pemilu di seluruh Indonesia, yang terbanyak terjadi di Sumatra Utara. Jumlah ini semakin menambah keprihatinan mengenai netralitas dan integritas penyelenggaraan pemilu.

Integritas menjadi kata kunci dalam konteks ini. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (KemenPAN) menggarisbawahi pentingnya integritas bagi para pemimpin sebagai landasan pemerintahan yang akuntabel . Namun, fakta bahwa sebanyak 1.385 pejabat telah dipenjara karena korupsi selama pemerintahan Jokowi menunjukkan bahwa integritas tersebut masih menjadi tantangan serius. Apakah kita bisa berharap pada integritas para politisi jika mereka sendiri tidak berkomitmen untuk mematuhi aturan yang ada?

Kecurangan pemilu adalah masalah yang terus membayangi. Laporan pemantauan menunjukkan adanya dugaan pelanggaran netralitas ASN selama pemilu 2024. Ini adalah fenomena yang tidak bisa diabaikan. Bagaimana rakyat dapat percaya bahwa suara mereka akan dihargai? Bagaimana pemilih dapat merasa yakin bahwa pilihan mereka akan mengubah masa depan, jika para pemimpin mereka menganggap pelanggaran aturan sebagai hal yang biasa?

Dalam konteks yang lebih luas, komentar Bahlil yang merupakan ketua partai besar, mencerminkan kebiasaan di mana kepentingan politik seringkali mengesampingkan prinsip moral dan etika. Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pemimpin seharusnya menjadi teladan bagi rakyatnya. Namun, apa yang ditunjukkan Bahlil adalah realitas pahit di mana tujuan menghalalkan cara.

Oleh karena itu, sikap tegas perlu ditunjukkan. Kita tidak bisa membiarkan pelanggaran aturan sebagai bagian dari "strategi" politik. Jika kita ingin memiliki sistem pemilu yang kredibel dan dipercaya rakyat, maka sudah saatnya semua pihak, termasuk politisi, untuk mengedepankan integritas dan komitmen terhadap hukum. Hanya dengan cara inilah kita dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.

Sekali lagi, ungkapan Bahlil Lahadalia bukan hanya sekadar pernyataan guyon. Ini adalah cerminan dari krisis integritas yang kita hadapi dalam dunia politik saat ini. Untuk mengubah paradigma ini, diperlukan upaya bersama dari semua elemen masyarakat. Tanpa adanya kesadaran dan komitmen untuk menjunjung tinggi etika dan integritas, cita-cita demokrasi yang bersih dan akuntabel hanya akan tinggal impian. Jika kita tidak bertindak sekarang, maka kita akan terjebak dalam siklus pelanggaran dan kecurangan yang tak berujung.