Ragam Respons DPR soal Menteri Bahlil yang Minta Jadwal Pilpres 2024 Diundur
Gedung DPR (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - DPR RI menyayangkan pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang mengklaim bahwa kalangan dunia usaha berharap jadwal Pemilu 2024 diundur atau masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diperpanjang hingga 2027. Alasannya karena pertimbangan ekonomi akibat pandemi. 

Pernyataan tersebut pun menuai ragam respons dan kritik. Parlemen, baik lintas komisi dan fraksi kompak menolak isu tersebut lantaran tak sesuai dengan konstitusi. Lantas, seperti apa tanggapan para dewan?

 

PKB

 

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Luqman Hakim, mengatakan pernyataan Bahlil Lahadalia menunjukkan bahwa yang bersangkutan tidak paham konstitusi negara ini. 
 

"Praktek pemilu pada masa orde lama dan orde baru yang digunakan Bahlil sebagai contoh yang bisa dilakukan saat ini, makin menunjukkan dia tidak pernah baca konstitusi yakni UUD 1945," ujar Luqman di Gedung DPR, Selasa, 11 Januari. 

Kata Luqman, jelas diatur pada Pasal 7 UUD 1945 bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih sekali lagi pada jabatan yang sama. Pasal 6A UUD 1945 menegaskan presiden dan wakil presiden dipilih rakyat secara berpasangan melalui pemilihan umum.

"Pasal 22E UUD 1945 menegaskan pemilihan umum harus dilaksanakan setiap lima tahun. Pemilu dilaksanakan untuk memilih DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden dan DPRD," kata Luqman. 

 

Selain itu, lanjut Wakil Sekjen DPP PKB ini, penting juga ditegaskan bahwa di dalam konstitusi tidak ada norma yang memungkinkan presiden/wakil presiden diperpanjang masa jabatannya. Sementara menggunakan alasan ekonomi untuk menunda pergantian presiden, kata Luqman, sangat tidak masuk akal dan mengada-ada.

 

"Penyelenggaraan pemilu untuk memilih presiden/wakil presiden, justru bisa menjadi pemicu pergerakan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Pemilu di Indonesia tidak pernah menjadi faktor penyebab krisis ekonomi. Jelas itu!" tegasnya. 

 

Ketua PP GP Ansor itu mengingatkan bahwa upaya menunda penyelenggaraan pemilu 2024 agar tidak terjadi pergantian presiden/wakil presiden, merupakan tindakan inkonstitusional, anti demokrasi dan melawan kedaulatan rakyat.

"Mengingat Bahlil merupakan salah satu anggota Kabinet Presiden Jokowi, maka saya minta Presiden untuk menegur yang bersangkutan," kata Luqman. 

 

"Teguran ini penting diberikan Presiden, agar tidak terjadi krisis kepercayaan yang dapat mengganggu efektifitas kepemimpinan Presiden Jokowi," tandasnya. 

 

 

Gerindra

Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman, menilai tidak ada aturan perundang-undangan maupun amanat Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dapat diundur. Ia pun heran Bahlil bisa melontarkan pernyataan tersebut.

"Ya jelas itu UU yang jelas. Kalau diundur, jalan konstitusinya seperti apa?," ujar Habiburokhman di Gedung DPR, Selasa, 11 Januari. 

Sebetulnya, kata anggota Komisi III DPR itu, pernyataan Bahlil itu sah-sah saja sebagai sebuah aspirasi. Tapi kata Habiburokhman, perlu diingat bahwa pengunduran Pilpres tidak sesuai konstitusi yang berlaku.

"Aspirasi silakan saja, disampaikan. Ini negara demokrasi. Cuma, saya enggak ngerti, kemungkinannya mau dari mana, karena konstitusi kita jelas mengatur, enggak ada istilah mundur, pemilu itu lima tahun sekali," tegas Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.

 

NasDem

 

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi NasDem Saan Mustopa tegas membantah  klaim Menteri Investasi Bahlil Lahadalia terkait mundurnya pelaksanaan Pilpres 2024. Bahlil sebelumnya menyebut bahwa pengusaha ingin Pilpres 2024 diundur.  

 

Saan menegaskan, Komisi II DPR RI hingga kini tidak pernah sama sekali mewacanakan penundaan Pemilu 2024.

"Di Komisi II tidak ada wacana terkait dengan itu. Komisi II sampai hari ini firm bahwa Pemilu itu 2024," ujar Saan di Gedung DPR, Selasa, 11 Januari. 

Ketua DPW NasDem Jawa Barat ini pun menyesalkan pernyataan Bahlil. Saan lantas meminta Menteri Bahlil agar fokus membantu pemerintah meningkatkan investasi Indonesia agar lebih baik lagi. 

"Lebih baik Pak Bahlil konsentrasi bagaimana investasi di Indonesia ini tumbuh. Sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan juga sedikit membantu pemulihan ekonomi," kata Saan.

Saan berharap para pejabat pemerintah tidak membuat kegaduhan di masa pandemi COVID-19 seperti saat ini. Sebab kata dia, pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia sedang fokus menangani pandemi. 

 

"Para pejabat jangan membuat suasana politik menjadi lebih gaduh. Itu saja! Jadi konsentrasi saja di tugasnya masing-masing," kata Saan Mustopa.

 

PPP

 

Anggota Komisi VI DPR Fraksi PPP Achmad Baidowi menekankan bukan tupoksi Bahlil Lahadalia mengurusi politik. "Buat Pak Bahlil, Anda itu menteri investasi yang ngurusi investasi ekonomi, bukan investasi politik. Sebaiknya fokus pada tupoksinya di bidang investasi ekonomi tidak usah ngurusi politik," kata Awiek kepada wartawan.

Ketua DPP PPP itu mengatakan masa jabatan presiden sudah diatur dalam UUD 1945. Menurutnya, harus amandemen untuk mengubah masa jabatan presiden.

 

PKS

Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW) menilai klaim Bahlil tersebut sangat tidak relevan. Dia mengatakan bahwa wacana tersebut selain tidak kondusif bagi iklim berusaha, juga tidak sesuai dengan ketentuan konstitusi (UUD NKRI 1945).

Menurut anggota Komisi VIII DPR itu, usulan itu memantik polemik yang bisa menghadirkan ketidakpastian hukum yang tidak kondusif untuk berkembangnya gerak ekonomi dan investasi.

HNW justru meminta dunia usaha yang telah dibantu ratusan triliun rupiah lewat APBN itu fokus menciptakan  kondisi yang kondusif dan mematuhi ketentuan konstitusi. Selain itu para pengusaha juga seharusnya memberikan kontribusi maksimal untuk mengatasi masalah ekonomi dan sosial akibat dari COVID-19.

“Karena ketentuan soal masa jabatan presiden itu bukanlah domainnya pengusaha, melainkan UUD NRI 1945. Aturan-aturannya pun sangat jelas dan tegas,” ujar politisi PKS itu. 

 

Pasal 7 UUD NRI 1945 hanya membolehkan presiden menjabat maksimal dua periode, dan pasal 22 E mengamanatkan agar pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali, katanya. 

“Artinya sudah fixed, tidak ada alternatif konstitusional untuk perpanjangan menjadi tiga periode, maupun penambahan tiga tahun untuk periode ke dua karena itu tidak sesuai dengan konstitusi," kata HNW kepada wartawan, Selasa, 11 Januari. 

Apalagi kewenangan untuk bisa mengubah ketentuan UUD itu ada di MPR (pasal 3 dan 37), dan di MPR tidak ada agenda perubahan UUD untuk memperpanjang masa jabatan presiden.

Dia juga menegaskan tidak ada satu pun anggota MPR yang mengusulkan perubahan itu, padahal UUD mengatur jumlah syarat minimal jumlah pengusul yaitu 1/3 anggota MPR yaitu 237 anggota MPR.

“Maka wajar bila pemerintah dan DPR juga sudah sepakat bahwa pemilu (legislatif maupun pilpres/eksekutif) tetap akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UUDNRI 1945 dan UU Pemilu yaitu pada tahun 2024,” ujarnya.

 

Kata Bahlil soal Harapan Pengusaha agar Jadwal Pilpres 2024 Mundur 

 

Sebelumnya, hal itu sampaikan Bahlil saat mengomentari temuan survei nasional yang bertajuk 'Pemulihan Ekonomi Pasca COVID-19, Pandemic Fatigue dan Dinamika Elektoral Jelang Pemilu 2024' yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia.

Berdasarkan diskusi yang dilakukan dengan para pelaku usaha, Bahlil mengungkapkan alasan pengusaha ingin Pilpres 2024 diundur ialah untuk mendorong perekonomian nasional yang saat ini sedang dalam masa pemulihan.

“Kalau kita mengecek dunia usaha rata-rata mereka berpikir bagaimana proses demokrasi dalam konteks peralihan kepemimpinan kalau memang ada ruang untuk dipertimbangkan dilakukan proses untuk dimundurkan itu jauh lebih baik," ujar Bahlil dalam agenda temuan survei Indikator Politik, dikutip Senin, 10 Januari. 

Untuk diketahui, survei Indikator Politik Indonesia mencatat 31 persen masyarakat setuju jika masa jabatan Presiden Jokowi ditambah hingga 2027. Namun, sebanyak 32,9 persen responden kurang setuju dan 25,1 persen tidak setuju sama sekali dengan perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2027.

Masyarakat yang setuju berharap agar penanganan pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional dapat diselesaikan secara tuntas.

Bahlil menyatakan bahwa hal ini sejalan dengan beberapa diskusi yang dilakukannya dengan dunia usaha. Dia mengatakan kalangan pengusaha berpikir bahwa akan memberatkan bila dunia usaha harus menghadapi persoalan politik dalam waktu dekat. Bahkan, menurutnya bangsa Indonesia perlu memutuskan persoalan mana yang menjadi prioritasnya.

"Apakah itu persoalan menyelesaikan pandemi, pemulihan ekonomi atau memilih kepemimpinan baru lewat pemilu," ujarnya.

Menurut Bahlil, seluruh negara di dunia menghadapi dua persoalan besar yang sama, yaitu pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19.

Dia mengakui bahwa pemulihan ekonomi bukan hal yang mudah, tetapi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih menunjukkan hal positif, ditunjukkan oleh capaian 3,5 persen pada kuartal III/2021.

Meskipun, belum dapat memuaskan publik atas kondisi ekonomi saat ini, Bahlil gembira melihat kenaikan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin pada 4 bulan terakhir, yang mencapai 71 persen pada Desember 2021 menurut survei.

“Kami kerja siang malam di kabinet ini dan detail. Bapak Presiden bukan kasih perintah terus melepas. Beliau mengecek sudah sejauh mana, masalahnya apa dan targetnya apa?” katanya.

Selain itu, dia menegaskan saat ini dunia usaha sedang dalam tren pemulihan setelah terdampak pandemi COVID-19 yang berlangsung sejak 2020 hingga 2021. Untuk itu, momentum pemulihan ini diharapkan tidak terhambat karena stabilitas politik yang tidak berjalan baik.

"Mereka ini baru selesai babak belur dengan persoalan kesehatan. Ini dunia usaha baru naik, baru mau naik tiba-tiba ditimpa lagi dengan persoalan politik. Jadi itu hasil diskusi saya dengan mereka (pengusaha)," tuturnya.

Bahlil melanjutkan bahwa potensi memajukan atau memundurkan jadwal pemilu bukan sesuatu yang diharamkan karena sudah ada sejarahnya di Indonesia.

Dia menjelaskan, dalam sejarah Indonesia, pada 1997 telah dilakukan pemilu. Namun, reformasi pada 1999 membuat pemilu yang seharusnya digelar 2002 dipercepat dan dilaksanakan pada 1999.

"Tinggal kita lihat adalah kebutuhan bangsa kita ini apa, apakah persoalan menyelesaikan pandemi COVID-19, apakah persoalan memulihkan ekonomi, atau mempersoalkannya adalah bagaimana kita memilih kepemimpinan baru lewat pemilu," katanya.