JAKARTA - Minyak goreng masih langka. Operasi pasar menjual harga minyak goreng sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi) selalu dikerubuti ibu-ibu. Kejadian ini sudah beberapa bulan terjadi. Sejak awal tahun.
Jangankan masyarakat, Ketua DPR RI Puan Maharani hingga pejabat kementerian Perdagangan (Kemendag) pun bingung. Sekretaris Ditjen Perdagangan Kemendag I G Ketut Astawa mengklaim jika dicek di tingkat produsen, produksi minyak goreng yang berjalan saat ini seharusnya mencukupi kebutuhan domestik.
Pekan lalu di media Ketut mengungkapkan ada komitmen dari produsen CPO yang mencapai 351 juta liter selama 14 hari, sementara kebutuhan di tanah air selama per bulan berkisar antara 279 sampai 300 juta liter. Sedangkan ekspor CPO (Crude Palm Oil/Minyak sawit mentah) dilarang. Artinya secara logika lebih dari cukup.
Kemudian, data dari Kementerian Pertanian tahun 2019, total luas kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektare tersebar di 26 provinsi. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi minyak sawit mentah tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton. Memang turun 0,31 persen dari capaian 2020 sebesar 47,03 juta ton. Tapi masih cukup besar. Bahkan dari data yang diperoleh, sejak tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat pertama dan menjadi raja produsen sawit terbesar di dunia. Tahun 2019, produksi sawit di Indonesia pernah menembus 43,5 juta ton, dengan pertumbuhan rata-rata per tahunnya mencapai 3,61 persen.
Bayangkan! Betapa ironisnya, minyak goreng langka di negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Dari temuan awal Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), kelangkaan minyak goreng disinyalir dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari 'panic buying' hingga masalah di distribusi.
Ketua Satgas Pangan Polri Irjen Pol Helmy Santika di media mengakui hasil pantauan di lapangan memang terjadi kelangkaan minyak goreng. Itu terjadi karena ulah pelaku usaha. Menurut Helmy, harga minyak goreng naik karena aksi pelaku usaha menahan stok. Aksi itu mereka lakukan karena minyak goreng mereka beli dengan harga lama yang lebih mahal dari patokan pemerintah yang hanya Rp14 ribu per liter.
Hal senada juga disampaikan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Menurut Mendag ada dua kemungkinan yang menjadi penyebab mengapa minyak goreng langka di pasaran.
Pertama, karena kebocoran untuk industri yang kemudian dijual dengan harga tidak sesuai patokan pemerintah. Kedua, ada penyelundupan dari sejumlah oknum untuk dijual ke luar negeri dengan harga internasional.
Di twitter hal serupa juga disampaikan Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasi. Menurutnya ada tiga poin kenapa minyak goreng langka. Pertama pihak produsen tidak memproduksi. Kedua, bahan baku barang tersebut dijual ke luar negeri (LN). Dan terakhir ada sejumlah orang kaya yang menimbun barang tersebut.
Masuk akal apa yang disampaikan karena berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan, harga CPO dunia sempat menembus level tertinggi pada pekan kedua Januari 2022 di posisi Rp12.736 per liter. Harga itu lebih tinggi 49,36 persen dibandingkan dengan pada Januari 2021. Meski naik pemerintah memaksakan di dalam negeri tetap harus dijual dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Di tengah sulitnya ekonomi akibat pandemi COVID-19, dan jelang lebaran pemerintah harus segera mengambil langkah tegas. Menelusuri apa penyebab pasti minyak goreng langka. Kalau memang terjadi 'panic buying' agak sulit dipercaya. Pertanyaan awam, berapa besar masyarakat bisa stok? Justru yang bahaya apa yang diungkapkan Mendag dan Achsanul Qosasi. Menimbun untuk dijual dengan harga internasional.
Dan jika memang hal tersebut terjadi, pelaku dihukum tegas. Tanpa pandang bulu. Akan sangat tidak elok jika pejabat negara tahu penyebab atau pelaku nakal yang mengakibatkan minyak goreng langka tapi tidak melakukan apa pun.
Kasihan rakyat. Hidup sudah berat. Harga gas naik ditambah pula minyak goreng langka.