Bagikan:

JAKARTA - Kehadiran Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) di pertengahan tahun 2023 menjadi momok bagi mereka yang tidak tertib untuk urusan pembayaran royalti lagu atau musik.

Para penulis lagu yang tergabung di dalam AKSI juga bersuara keras terkait ketidakadilan yang mereka rasakan. Mereka merasa royalti yang didapat dari karyanya tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan.

Akibatnya, mereka bereaksi dengan melarang musisi tertentu untuk membawakan lagu-lagu ciptaannya. Beberapa kasus yang belakangan hangat dibicarakan antara lain Ari Bias yang melarang Agnez Mo, serta Ndhank yang melarang Stinky dan Andre Taulany.

Namun, Piyu sebagai Ketua Umum AKSI tidak ingin tujuan para penulis lagu ini disalahpahami. Dia menyebut tujuan asosiasi yang dipimpinnya untuk memberi keadilan bagi penulis lagu, dan demi kelanjutan industri musik Indonesia.

Piyu menegaskan pelarangan yang dilakukan anggota AKSI tidak pernah ditujukan untuk musisi-musisi yang bermain di beberapa tempat hiburan seperti kafe atau restoran.

“Kafe dan karaoke itu penanganannya beda, karena itu kembali lagi kepada pengelola hotel dan hiburan dengan LMK yang sekarang ini berjalan,” kata Piyu saat ditemui di Pondok Pinang, Jakarta Selatan baru-baru ini.

“Sebenarnya seperti itu, tapi yang terjadi saat ini banyak yang melakukan di bawah tangan, jadi akhirnya nggak sampai ke pencipta,” sambungnya.

Piyu memastikan tidak ada anggota AKSI yang melarang musisi kafe untuk membawakan lagu ciptaannya, terlebih bukan musisi kafe yang dilihat sebagai pengguna yang wajib membayarkan royalti.

“Penyanyi-penyanyi kafe, kita nggak pernah mempermasalahkan itu, mereka berapa sih bayarannya itu. Kan yang menggunakan bukan mereka, yang menggunakan itu kafenya, jadi yang diminta kafenya,” katanya.

Gitaris Padi Reborn itu membedakan kasus penggunaan lagu oleh musisi kafe dengan musisi profesional yang tampil dalam konser musik.

“Kalau penyanyi yang di event-event besar, dia kan pakai lagu itu supaya penonton datang. Tapi kalau kafe, nggak ada penyanyi itu pun orang tetap datang ke kafe, sehingga pemakainya adalah si pemilik kafe,” ujar Piyu.

“Siapapun, kalau bandnya si A atau si B, orang kalau mau datang (ke kafe) ya bakal balik ke kafe itu. Tapi kalau konser, kan (yang dijual) pakai nama (penyanyi) dan lagu itu,” pungkasnya.

Namun begitu, bukan berarti musisi kafe bisa acuh tak acuh terkait royalti lagu atau musik. Mereka juga harus mengingatkan pemilik tempat mereka bermain untuk mengurus pembayaran royalti demi keberlangsungan industri musik yang lebih baik.