JAKARTA - Persahabatan memang kunci kebersamaan. Bila diambil dari konteks sebuah grup band, ini jelas sangat diperlukan. Hanya saja, perlu diingat, bila musik dijadikan sebuah pekerjaan, maka aturan main yang akan berbicara. Karena persahabatan akan hilang bagitu saja bila aturan main yang sudah jelas dilabrak seenaknya. Dalam hal ini, hitam di atas putih soal ketentuan dalam band harus sangat dipegang.
Banyak sekali band yang mengalami perpecahan karena personelnya tidak bisa memegang aturan main yang ditetapkan manajemen band. Atau bisa juga sebaliknya. Karena menganggap band sebagai keluarga kedua, akhirnya mereka tidak memedulikan nilai-nilai profesionalisme dan lebih memegang falsafah 'gentleman agreement'. Akibatnya, salah paham yang berujung pemecatan atau pengunduran diri personel kerap terjadi.
Banyak sekali contoh seperti ini. Tapi karena kami mengenal langsung band-band yang akan dibahas, demi kenyamanan bersama, kami memilih untuk tidak menyebut baik nama band atau personel yang dimaksud. Tulisan ini semata-mata hanya untuk menekankan pentingnya arti profesionalisme dalam sebuah band. Bukan untuk menyudutkan salah satu pihak.
Yang pertama, kejadian yang pernah dialami salah satu band rock Indonesia yang memiliki basis massa cukup masif. Sekitar sepuluh tahun lalu, band ini mengalami sepi job. Salah satu personelnya lantas ‘melacurkan diri’ menjadi bintang film layar lebar demi – yang katanya – menyambung hidup. Sementara teman-temannya, tetap bertahan di zona ‘merah’ itu dengan tidak melakukan apa-apa. Akibatnya, dia menerima ancaman pemecatan.
Menurut pentolan band ini, mencari job sendiri meskipun di bidang yang berbeda merupakan sebuah upaya ‘cari selamat’ yang tidak bisa dibenarkan. “Lo itu kayak nemu setetes air di padang pasir dan air itu lo minum sendiri. Sementara kami enggak lo kasih. Itu egois!” demikian kata-kata yang dikeluarkan pentolan band ini seperti ditirukan ‘si pemain film dadakan’ kepada kami, suatu ketika.
BACA JUGA:
Puasa bicara antarpersonel lantas menjadi solusi sementara. Dan ini sering terjadi, layaknya pasangan yang sudah menikah. Tapi, adanya sebuah mimpi yang sama membuat mereka keep coming back. Band ini pun kembali solid. Tapi sampai kapan? Tidak ada yang tahu. Kini, desakan reuni formasi 'terbaik' band ini menimbulkan ketakutan bagi para personel yang bergabung setelahnya. Ancaman perpecahan kembali datang.
Lalu, ada band metal Indonesia yang bisa dikategorikan besar dan memiliki jadwal show seabrek. Manajemen yang tidak sehat dan aturan main yang tidak transparan membuat salah satu personelnya mundur lantaran hanya dibayar seperti tukang angkut ampli berapa pun nilai kontrak yang diterima manajer band dari promotor. Dengan kata lain, dia dan player lainnya hanya mendapatkan bayaran berupa pengelap keringat yang nilainya jauh di bawah upah yang diterima manajer dan pentolan band.
Karena merasa band yang dihuninya sebagai rumah kedua dan menganggap pentolan band sebagai sahabat, personel yang cabut ini merasa sebuah aturan main yang baku tidak penting. Akibatnya dia jadi gampang ‘dibego-begoin’ sama tuannya. Sementara tuannya, karena merasa sebagai pemilik band, bebas melakukan apa saja kepada para personel yang dianggapnya ‘bau kencur’.
Cerita lainnya datang ketika kami mendampingi salah satu band pop Indonesia tur tiga titik di kawasan Semenanjung Iberia tiga tahun lalu. Tidak seperti terlihat di luar, grup ini ternyata proyek solo vokalisnya yang hanya memosisikan para personel lain sebagai pegawai kontrak. Menurut curahan hati si drumer, ia dikontrak per tahun dengan sistem bayaran persentase dari setiap job manggung plus menerima uang Rp250 ribu untuk setiap vlog dan sampling lagu yang ia buat.
“Gue udah pengen cabut dari dulu, tapi gue terikat kontrak. Gue mau jalan sendiri saja daripada gabung sama band ini. Tapi susahnya, kontrak gue dengan mereka belum habis. Gue berani jamin. Karena gue yang buat musik, band ini enggak akan jalan kalau gue pergi,” keluhnya.
Beberapa pekan kemudian, si drumer memutuskan keluar begitu kontrak kerjanya berakhir. Si band pun mati ide, sepi job, dan namanya perlahan lenyap.
Bukan tanpa alasan jika si drumer hengkang dari band yang dihuninya. Selain honor yang (lagi-lagi) minim, suasana nyaman dalam tubuh band ini juga nyaris tidak ada. Perbedaan strata antara pentolan sekaligus pemilik band dengan para personel lain terlihat jelas. Kata-kata kasar kerap terlontar dari mulut ‘si majikan’ begitu para ‘pesuruhnya’ melakukan sedikit kesalahan.
Bahkan, ketika para personel lain harus berjalan kaki menuju lokasi manggung karena bujet yang pas-pasan, dia akan memesan taksi seorang diri demi mendapatkan kenyamanan pribadi. Kami sampai menggelengkan kepala dengan kelakuan ‘si bos’ ini. Soalnya, kami termasuk di antara personel band yang jalan kaki itu. Berkilo-kilo bray! Sambil membawa perlengkapan manggung pula, lantaran tidak membawa satu pun kru.
Intinya, menyatukan isi empat atau lima kepala agar sejalan tidaklah gampang. Banyak hal internal yang membuat mereka up and down. Toleransi dan proporsi masing-masing personel jadi ketahuan seiring berjalannya waktu. Apa yang dilakukan personel band rock yang mencari job tanpa sepengetahuan band-nya tentu tidak bisa dibenarkan. Tindakan yang dilakukan pentolan band metal yang seenaknya juga merupakan kesalahan. Pun demikian dengan kelakuan bossy si pemilik band pop tadi.
Jadi, memegang teguh aturan main sangatlah penting. Ini berlaku untuk semua personel, tidak terkecuali leader band. Tapi, jika tingkat kenyamanan sudah berada di titik nadir, musyawarah untuk mufakat menjadi solusi paling tepat meski ada personel yang harus dikorbankan.