Bagikan:

JAKARTA - Tring! Di penghujung tahun 2019, tiba-tiba aplikasi pesan WhatsApp berbunyi. Isinya, pesan promosi dari seorang teman yang sedang menangani band baru dari Jakarta. Pesan pun dibuka dan link YouTube yang ada dalam pesan tersebut langsung ditekan. Ya, bagaimana pun rasa penasaran itu ada. Tapi, belum juga memasuki detik ke-20, video musik yang sedang berputar itu langsung kami stop. Tanpa bermaksud melecehkan apapun yang ada dalam video musik tersebut, jujur, kami langsung mengernyit.

Ternyata, masih ada yang berpikir kalau ukuran kesuksesan sebuah band itu adalah digaet label rekaman besar, masuk televisi, diburu tanda tangan dan dimintai foto bareng oleh penggemar. Akibatnya, mereka  melacurkan idealismenya demi ‘syahwat’ popularitas semata. Dan anehnya lagi, mereka juga berkiblat kepada band-band yang mengumandangkan tren musik yang nyata-nyata sudah lewat masa jayanya. Jelas sekali, di sini kita tidak sedang membicarakan musik rock atau metal, apalagi jazz!

Sebetulnya tidak ada yang salah dengan pilihan genre dari band ini. Yang disayangkan adalah jalan pintas yang mereka ambil demi mendapatkan popularitas. Apalagi dari selentingan yang kami dengar, latar belakang selera musik para personel band ini bermuara pada nama-nama seperti Saint Loco, One Ok Rock, hingga In This Moment. Mengikuti tren musik pop melayu yang sudah basi, tentunya merupakan tindakan menggelikan. Mereka lupa, kesuksesan hanyalah akhir dari seluruh upaya yang kita lakukan. Bagaimana pun, kita tidak boleh melupakan sebuah proses.

Kesabaran akan menjalani sebuah proses ini bisa dicontoh dari banyak band Indonesia di era ‘70, ‘80, atau ‘90-an. Salah satunya, GIGI. Armand Maulana pernah bilang, mereka mengaku tidak takut dengan keadaan industri musik yang kala itu (pertengahan tahun 2000-an) dibanjiri band pop melayu. Karena menurut mereka, situasi tersebut hanyalah siklus terhadap tren musik yang akan berubah dalam satu atau dua tahun.

Terbukti, semua yang muncul atas nama tren itu terseleksi satu persatu dan hilang entah ke mana. Kemudian menyebarlah virus boygroup/girlgroup yang juga nongol atas nama tren dan pasar. GIGI? Mereka tetap survive di tengah rongrongan tren musik ‘musiman’ itu. Bahkan tetap bisa menghasilkan album baru dengan hit dan sejumlah proyek lagu rohani yang serta merta memperluas wilayah show mereka. Tren boygroup ini juga lantas raib diembus angin hanya dalam hitungan satu dan dua tahun.

Setia Bersama Menyayangi dan Mencintai menjadi album terakhir yang dirilis GIGI pada Mei 2017. Ini juga berbarengan dengan mewabahnya tren musik EDM (Electronic Dance Music) di Indonesia. Bagaimana nasib GIGI? Jadwal panggung mereka masih tetap padat. Secara individu, para personelnya juga sibuk dengan berbagai proyek solo dan proyek sampingan.

Kami rasa, secara manajemen, GIGI cukup tertata rapi dan bisa memelihara produknya dengan baik. Meskipun sempat terdengar gosip perpecahan lantaran  album terakhirnya digarap tanpa melibatkan gitaris Dewa Budjana yang sedang sibuk merekam album solo di Amerika Serikat - lalu posisinya digantikan oleh Denny Chasmala - tapi hal itu bisa mereka tutupi dengan baik. Pastinya, mereka dapat dijadikan contoh bagi band-band yang baru masuk industri musik saat ini baik dari segi musikalitas maupun konsistensi.

Atau, jika bicara artis solo, Melly Goeslaw juga menjadi musisi yang layak dijadikan panutan. Putri mendiang penyanyi Melky Goeslaw ini adalah artis yang paling bisa bertahan dengan situasi industri musik yang saat itu dihinggapi tren musik pop melayu dengan segala sikap kreatifnya. Dia selalu tampil beda baik dengan karya-karyanya maupun konsep imaging yang disuguhkannya. Meski saat itu ia juga mengaku gelisah dengan kondisi industri musik yang tengah menukik tajam.

“Gue enggak bisa bikin lagu seperti itu (pop melayu). Karena itu bukan jiwa gue. Gue akan tetap bikin sesuatu yang sesuai dengan kata hati gue. Dan kenyataannya, yang penting gue enggak bisa ngeliat itu bakal laku atau enggak. Tapi ini (bisa) menjadi referensi bagi musisi lain. Buat seniman, itu akan menjadi suatu kepuasan,” tuturnya.

Gitaris Slank, Ridho Hafiedz, juga memiliki pernyataan tegas dan mutlak dengan kondisi industri musik Indonesia saat itu. Ia mengatakan, jika ada produser atau label rekaman yang memintanya membuat lagu komersil, dia mau-mau saja. Tapi, berkompromi untuk bikin lagu komersil yang setipe seperti tren saat itu? “No way! Yang gue tahu bikin lagu bagus itu dari alam bawah sadar kita. Dari hati. Bukannya ikut-ikutan,” terangnya.

Beberapa hari setelah menerima pesan promosi via WhatsApp tadi, beranda akun Facebook diberondong postingan tentang perilisan single baru milik band anyar yang dibentuk seorang teman dunia maya. Rasa penasaran lagi-lagi muncul. Benar saja! Jenis musik yang ditawarkan band ini setipe dengan iklan band yang sebelumnya kami terima via WhatsApp. Bedanya, band yang satu ini berasal dari daerah. Ya Tuhan, apakah tren musik kita benar-benar mundur lagi ke 15 tahunan ke belakang?

Selang satu pekan, salah satu media online memberitakan perilisan single ini dengan memberi judul yang 'menyilaukan'. Mereka seakan menganggap band ini sebagai representasi paripurna di daerah tempat kelahirannya, yang sadar tidak sadar mengesampingkan band-band lain yang memiliki karya dan kemasan musik yang lebih bersikap.

Si band tentu saja bangga dengan pengultusan tersebut. Mereka bahkan makin bergaya ala rocker melebihi para rocker tulen yang ada di muka bumi. Sambil mengelus dada, kami berkata dalam hati; “Semoga tahun 2020 tidak ada lagi kepalsuan seperti ini.”