Bagikan:

JAKARTA - Setiap musisi biasanya punya alter ego berupa ide-ide kreatif yang tidak sepenuhnya bisa dituangkan ke dalam band mereka. Untuk itu, tidak sedikit yang kemudian membuat side project (proyek sampingan). Ada yang hanya berupa proyekan panggung, ada juga yang membuat album sampai akhirnya menjelma menjadi grup musik yang bahkan lebih sukses dari band utamanya.

Yang bisa disebut paling anyar, The Otherside. Dikomandani Adhitya Pratama - gitaris band pop multiplatinum Tanah Air Element - band bergenre rock ini merilis single kedua bertajuk Hitori Janai pada 19 November kemarin sebagai tindak lanjut dari single sebelumnya, Sebelah Nyawa, yang dirilis Januari lalu. 

Bernama awal Adhitya Pratama & The Otherside, band ini dilengkapi oleh talenta-talenta dari beberapa band yang diproduseri oleh Adhit. Antara lain Cas (vokalis The JumperFi),  Naufal (drummer M R L V C K), Achmad ‘Ais’ Haris (bassis Follow Band), Filipus Jonatan (saksofonis Follow Band), serta Jones Roma Teppy (gitaris yang juga mixing engineer dari Erwin Gutawa).

Selain The Otherside, masih banyak side project musisi Indonesia yang sukses menyedot perhatian khalayak musik Tanah Air. Berikut beberapa di antaranya.

Devildice

Devildice (Instagram @devildice13)

Band ini merupakan wadah ide kreatif Jerinx yang tidak tertampung bersama band Superman Is Dead (SID). Berbeda dengan perannya di SID, di Devildice Jerinx berposisi sebagai gitaris sekaligus vokalis. Kendati demikian, drumer ini masih tetap menunjukan sisi kelamnya melalui barisan karya yang terlukis dalam album In The Arms Of The Angels (2004), Army Of The Black Rose (2012), dan single Left My Heart In Jogja (2017). Devildice terbentuk di Bali pada 1997, dua tahun setelah kelahiran SID. Band yang jadi salah satu lini depan penolak Reklamasi Teluk Benoa ini terbentuk setelah Jerinx tergila-gila dengan karya-karya Social Distortion.

The Dance Company

The Dance Company (instagram @thedancecompany)

Band dengan formasi Aryo Wahab (vokal), Baim (gitar), Nugie (drum) dan Ponky Barata (bass) ini adalah side project super yang bisa dibiling project long term tapi berdiri di atas slogan 'tidak kejar target'. Soalnya, tiap-tiap personel masih lebih sibuk dan memilih fokus dengan proyek-proyek utama mereka. Uniknya, di The Dance Company, keempat personelnya cenderung mengesampingkan identitas asli mereka dan berusaha bermain-main dengan identitas baru yang mereka buat. Kelebihan band ini adalah mirip KISS, di mana seluruh personelnya bisa bernyanyi. Karya-karya yang telah dihasilkannya meliputi album The Dance Company (2009), Anak Indonesia (2010), dan Happy Together (2014).

Jikunsprain

Jikunsprain (Instagram @jikunsprain.official)

Sejak terbentuk pada 2006, proyek sampingan gitaris /rif, Jikun ini telah merilis tiga album penuh berlabel self-titled (2008), Sprained (2009) dan Bertuhan dengan Marah (2017). Di album debutnya, Jikun ditemani oleh Daeng Oktav (bass), Andre Chilling (drum), dan Pongki Barata (vokal). Sementara di album keduanya, Jikun merekrut Bima (drum) dan Megadalle (vokal) untuk menggantikan Chilling dan Pongki yang saat itu memilih untuk kembali fokus ke band utamanya, Bunglon dan Jikustik. Di album terakhirnya, selain masih ditemani bassis Daeng Oktav, Jikun kini mendapuk Sasongko dari Umbra Mortis sebagai vokalis dan Reza sebagai drumer.

Konspirasi

Konspirasi (Instagram @konspirasiband)

Gitaris band pop rock alternatif, Cokelat, Edwin Marshal Syarif juga memiliki wahana untuk menumpahkan idealisme terpendamnya lewat band bernama Konspirasi. Di band bergenre grunge yang dibentuk pada 2009 ini, Edwin ditemani oleh barisan musisi rock berkelas lainnya seperti; Marcell Siahaan (drum), Che ‘Cupumanik’  (vokal), dan Romy Sophiaan (bass). Konspirasi telah merilis album Teori Konspirasi pada 2011 dan single Mantra Provokasi (2017) dan Bermain Tragedi (2019). Sekarang, mereka tengah mempersiapkan album terbarunya. 

Toxic Team

Toxic Team (Instagram @txc.team)

Ini adalah band sampingan dari gitaris J-Rocks, Sony Ismail yang dibentuknya bersama drummer Axel Andaviar, putera gitaris /rif, Ovy. Bersama Toxic Team, Sony tidak memainkan musik Jepang-jepangan, tetapi mengusung musik elektronik yang dipadupadankan dengan elemen-elemen rock segar. Band ini awalnya merupakan proyek duo milik ayah-anak; Ovy dan Axel yang bernama Toxic Twins. Setelah sebelumnya dilengkapi oleh eks vokalis Zigaz, Zian, Toxic Team merekrut Melody sebagai vokalis - yang kemudian dinikahi oleh Axel - dan Ijash pada drum. Band ini telah merilis single kolaboratif bersama Divide yang bertajuk Anti Haters-Haters Club! dua tahun lalu.

The Sidhartas

The Sidhartas (Instagram @thesidhartas)

Band ini lebih layak disebut sebagai proyek suka-suka. Karena menggabungkan dua paman dan dua keponakan asal Potlot dalam satu wadah; Bimbim (Slank) dan Massto (Kidnap Katrina) serta Awak dan Firas. Meski awalnya hanya berupa keisengan yang terinspirasi oleh band luar negeri, LMFAO yang juga terdiri dari paman dan keponakan, band ini akhirnya merilis album pertamanya yang berlabel self-titled pada 2016 lalu. The Sidhartas adalah wahana pelepas penat seorang Bimbim. Bersama The Sidhartas, leader band rock legendaris Slank ini tidak bermain drum. Tetapi menjabat sebagai vokalis dan gitaris. 

Andra And The Backbone

Andra and the Backbone (Dok. Andra and the Backbone)

Awalnya dibentuk sebagai selingan Andra Ramadhan di luar band utamanya, Dewa 19. Tapi popularitas band yang berdiri pada 2007 ini melejit, bahkan sejajar dengan band utamanya. Bersama Andra And The Backbone (AATB), Andra terlihat bebas menuangkan alter ego-nya bersama gitaris Stevi Item dan vokalis Dedy Lisan. Uniknya, Stevi juga memiliki side project di luar AATB, yakni Deadsquad yang bergenre death metal. Satu hal yang tidak kalah penting. Andra seakan telah mempersiapkan AATB sebagai sekoci sejak jauh-jauh hari. Ya, sejak Ahmad Dhani memensiunkan Dewa 19 pada 2011 dan hanya mendapuk band ini sebagai ‘band nostalgia’ yang hanya manggung sesekali, Andra sudah tidak perlu bingung lagi mencari pelarian.

Lalu, manakah band side project yang paling mentereng? Tentu saja tidak bisa dipukul rata. Karena setiap side project pasti memiliki tujuan dan arah yang berbeda. Tapi jika ukurannya adalah karya rekam, hits dan jadwal manggung maka tentunya akan mengerucut pada satu nama. Ada yang mengatakan, eksistensi sebuah band dapat dilihat pada album ketiga. Artinya, bila di album ketiga mereka sanggup menghasilkan hit seperti di album pertama dan kedua maka band tersebut bisa dibilang berhasil. 

Di antara band-band yang ditulis di atas, AATB telah merepresentasikan kategori ‘berhasil’ dalam arti sesungguhnya. Selain telah menghasilkan lima album, mereka juga mampu menghasilkan hit di setiap albumnya. Dan kendati dalam kurun waktu lima tahun terakhir hanya menghasilkan tiga single, yaitu Panah Takdir (2017), Deja Vu (2018), dan Song For You (2019) tapi mereka masih mengantungi jadwal show yang cukup padat. 

Jika dilihat dari lagu-lagu hit, sebenarnya sangat setipe antara satu dan lainnya. Tapi bila bicara karakter, mereka jelas sudah menemukan karakter sendiri. Dan andai Andra and the Backbone masih pantas disebut side project, mengingat eksistensi Dewa 19 kini sangat terbatas, maka ini adalah side project yang berhasil!