JAKARTA - Pada 16 September 1982, setelah invasi Israel ke Lebanon, milisi sayap kanan yang merupakan gerilyawan Kristen dari Partai Kataeb atau Falang Lebanon, menyerbu kamp pengungsi di Sabra dan Shatila, Beirut Barat. Penyerbuan tersebut memulai pembantaian terhadap ribuan manusia tidak bersalah yang sebagian besar merupakan warga sipil Palestina.
Jumlah korban dari peristiwa ini masih menjadi perdebatan. Yang paling diyakini, korbannya mencapai 3.500 warga sipil Palestina dan Lebanon. Mereka kebanyakan dari kalangan wanita, anak-anak dan orang tua yang dibunuh secara sadis.
Sejumlah besar korban memiliki luka tembak di kepala, dada dan perut serta berbagai luka pecahan peluru. Beberapa di antaranya dimutilasi sebelum atau setelah dibunuh, menurut Human Rights Watch.
“Kami mulai melihat orang-orang berlari, berlumuran darah, berlari ketakutan,” kata seorang warga Shatila, Farhat Salim Farhat, saat wawancara dengan Aljazeera. Dia ingat menyaksikan tentara Israel melemparkan bom untuk menerangi kamp ketika orang Falang masuk.
Pembantaian itu sangat sunyi, dengan orang-orang Falang menggunakan kapak untuk melakukan penyerangan, kenang Farhat yang merupakan seorang komandan militer yang bertugas mempertahankan kamp. Para korban benar-benar tidak berdaya setelah Israel mengusir tentara Suriah dan pejuang milik Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat dari ibu kota Lebanon.
Menurut berbagai laporan, wartawan yang berkunjung ke area pembantaian menemukan banyak tumpukan selongsong M-16. Selain itu, terdapat kotak-kotak yang berisi peluru M-16 dan terdapat cetakan bahasa Ibrani. Di tempat lain, ada bungkus wafer cokelat Israel serta sisa-sisa ransum C Angkatan Darat Amerika Serikat (AS).
Mengutip BBC, pengusiran PLO adalah hasil dari invasi 'Operasi Perdamaian untuk Galilea' oleh Israel, yang didalangi oleh Menteri Pertahanan Israel saat itu Ariel Sharon. Sharon mengatakan bahwa invasi tersebut untuk membasmi "ancaman teroris" yang ditimbulkan oleh kehadiran militer Palestina di Lebanon.
Sementara itu dalam waktu bersamaan, kelompok gerilyawan Falang Lebanon hendak melakukan aksi balas dendam atas pembunuhan Presiden Lebanon yang baru terpilih Bachir Gemayel, yang juga pemimpin Partai Kataeb Lebanon. Kelompok Falang menganggap bahwa militan Palestina yang melakukan pembunuhan terhadap Gemayel.
Kekacauan nasional
Pada 30 Agustus 1982, di bawah pengawasan Pasukan Multinasional, PLO menarik diri dari Lebanon setelah berminggu-minggu pertempuran di Beirut Barat, tidak lama sebelum pembantaian terjadi. Berbagai kekuatan dengan Israel, kelompok Falang dan kemungkinan juga bersama Tentara Lebanon Selatan (SLA), berada di sekitar Sabra dan Shatila. Mengambil keuntungan dari fakta bahwa Pasukan Multinasional telah menyingkirkan barak dan ranjau yang telah mengepung Beirut.
Kemajuan Israel atas Beirut Barat setelah penarikan PLO, memungkinkan serangan dari kelompok Falang terhadap pengungsi di kamp Sabra dan Shatila. Padahal, hal tersebut melanggar perjanjian gencatan senjata antara berbagai kekuatan. Tentara Israel mengepung Sabra dan Shatila untuk mencegah penduduk kamp pergi atas permintaan kelompok Falang. Setelahnya, berbagai tindak pembantaian pun terjadi.
Pembantaian di Sabra dan Shatila juga merupakan konsekuensi langsung dari pelanggaran Israel terhadap gencatan senjata yang ditengahi AS dan impunitas yang diberikan kepada Israel oleh AS dan komunitas internasional. Peristiwa tragis ini adalah pengingat bahwa komunitas internasional terus gagal meminta pertanggungjawaban pelanggaran yang kerap dilakukan Israel terhadap hukum internasional dan untuk membela hak asasi manusia dasar rakyat Palestina.
PBB mengutuk pembantaian Sabra-Shatila sebagai tindakan genosida. Sementara komisi pencari fakta Israel menetapkan bahwa Ariel Sharon, yang saat itu menjadi Menteri Pertahanan Israel, memikul tanggung jawab pribadi atas pembunuhan tersebut. Sharon kemudian mengundurkan diri dari jabatannya.
Bagi warga Palestina, pembantaian Sabra dan Shatila tetap menjadi peristiwa traumatis, yang diperingati setiap tahun. Banyak yang selamat terus tinggal di Sabra dan Shatila, berjuang untuk mencari nafkah dan dihantui oleh ingatan mereka tentang pembantaian. Sampai hari ini, tidak ada yang diadili atas kejahatan yang terjadi.
*Baca Informasi lain soal SEJARAH HARI INI atau baca tulisan menarik lain dari Putri Ainur Islam.
SEJARAH HARI INI Lainnya
BACA JUGA: