Bagikan:

JAKARTA - Bagi orang Bugis yang menganut agama Islam, Hari Raya Idul Fitri adalah hajatan besar. Lebaran selalu diperingati dengan cara istimewa tanah Sulawesi Selatan. Tak perlu diragukan lagi. Orang Bugis selalu tercitra sebagai Muslim yang taat. Di sisi lain, Lebaran jadi penegasan orang bugis tetap memegang teguh adat yang diwariskan oleh leluhur secara turun temurun.

Bukti nyatanya terletak pada eksistensi tradisi Ma’burasa. Bukan sembarangan tradisi. Bagi orang Bugis, Lebaran takkan lengkap jika sehari sebelumnya tak melakoni tradisi Ma’burasa yang dalam bahasa bugis berarti membuat kuliner tradisional bernama burasa, ketupatnya orang Bugis. Apalagi, dalam proses pembuatan burasa yang berbahan dasar beras, santan lalu diberikan sedikit garam, tak jarang melibatkan peran seluruh keluarga inti.

Ayah, ibu, dan anak-anak ikutan larut dalam narasi gotong royong Ma’burasa. Ada yang mulai menyiapkan bahan makanan, ada pula yang membungkus burasa dengan daun pisang, serta ada juga yang bertugas mencari kayu bakar sembari menjaga perapian agar terus menyala.

Perlu diingat, burasa memang sengaja tak dimasak dengan kompor gas, melainkan masih dimasak dengan kayu bakar supaya rasa otentik dari burasa tetap terjaga dan dapat bertahan hingga tiga hari tanpa dipanaskan. Menariknya, tak cuma satu atau dua keluarga yang melakukan Ma’burasa.

Mayoritas umat Muslim di tanah Bugis pun ikut andil dalam tradisi.  Dalam proses memasak yang memakan lima hingga enam jam itu, biasanya para tetangga berkumpul di halaman belakang rumah salah seorang warga guna membangun kearaban dengan obrolan-obrolan ringan dan senda gurau. Otomatis, lewat aktivitas tersebut tak jarang muncul sebuah ikatan emosional antartetangga.

Gambaran tersebut juga dilukis oleh Rahman Mangussara dalam buku Berjalan di Atas Air (2019). Dirinya menggambarkan bagaimana orang Bugis dapat begitu larut dalam aktivitas Ma’burasa. Tak terkecuali, mereka yang masih anak-anak.

“Puas bermain mercon bambu, sekawanan ini mengalihkan perhatiannya pada aktivitas nenek dan keluarganya di bawah kolong rumah. Keluarga besar Asso berkumpul menyiapkan santapan istimewa untuk esok hari Lebaran dengan membuat makanan-makanan tradisional seperti ketupan khas Bugis yang disebut burasa dan tape ketan yang disebut gambang. Penganan tradisional inilah yang laku keras pada dua hingga tiga hari setelah Lebaran,” ucap Rahman.

Tak pelak, tradisi ini pun dapat mengikat memori anak-anak yang dilibatkan dalam Ma’burasa. Alhasil, keseruan dan kebersamaan aktivitas Ma’burasa akan terus disimpan oleh anak-anak dalam memori mereka. Kelak, jika mereka berada jauh dari rumah, geliat keseruan tradisi akan membuat mereka rindu sehingga keinginan kembali menjejakkan kaki ke kampung halaman semakin menjadi-jadi.

Bahkan, sajian kuliner mirip lontong yang biasanya dinikmati dengan Coto Makkasar tak hanya disukai oleh kalangan orang Bugis. Orang luar negeri pun ikut larut dalam menikmati burasa. Lawrence Winkler, misalnya. Lewat buku Stories of the Southern Sea (2015), Winkler bercerita terkait pengalamannya berada di Makassar dan mencoba makanan khas lain yang salah satunya adalah burasa.

“Kami makan Sop Konro dan Coto Makassar dengan isian dari berbagai bagian sapi, seperti otak, lidah, usus serta diramu dengan kacang dan bumbu khusus. Kami memakan semuanya dengan lahap, apalagi ditambah dengan adanya burasa yang sangat enak,” tulis Winkler.

Sarat nilai

Melestarikan Ma’burasa sama halnya dengan merayakan euforia yang terkandung di dalamnya. Untuk menjelaskan hal itu, kami menghubungi budayawan Sulawesi Selatan, Feby Triadi. Baginya, Ma’burasa dapat langgeng melegenda menjadi tradisi karena sarat akan nilai-nilai penting kehidupan.

Beberapa di antaranya dapat dilihat tepat setelah burasa matang. Menurut tradisi, sebelum burasa disuguhkan, terlebih dahulu diadakan ritual membaca doa yang terkenal dengan nama Mabbaca-baca. Biasanya, burasa akan lebih dulu disuguhkan kepada seorang imam atau ustaz yang sedang memimpin pembacaan doa sebagai bentuk syukur telah melalui Ramadan dan supaya empunya rumah dapat kembali berjumpa Ramadan tahun depan.

Dalam proses ini, rasa solidaritas sosial dan wacana kuasa muncul kembali. Sebab, mereka yang merasa terpandang di masyarakat akan memanggil warga lainnya untuk ikut makan dan merasakan panganan burasa yang dimasaknya. Selebihnya, ada pula nilai lain semisal konsep kebersamaan di dalam menyantap burasa.

“Di dalam Burasa itu, ada konsep kebersamaannya. Sebab, setelah burasa dibungkus daun pisang, tiga sampai lima burasa akan digabung dan diikat menjadi satu burasa yang utuh. Konsep ini dibentuk atas rasa kesatuan yang sifatnya kultural,” ujarnya saat dihubungi oleh VOI, 22 Mei.

Tak sampai situ, dirinya juga menambahkan bahwa perihal Ma’burasa terkandung pula rasa saling berbagi. Ambil contoh dalam satu ikat burasa saja, setidaknya burasa dapat disantap hingga dua sampai tiga orang. Saking spesialnya, maka kesetiakawanan pun muncul daripada menyantap burasa.

“Walaupun mungkin bahan dan alat pembuatan burasa sama dengan di tempat lain, semisal Sumbawa. Namun, yang membedakan burasa ala orang Bugis ialah terletak pada ingatan orang-orang akan perilaku pembuatan, ingatan tentang kampung, sampai ingatan untuk orang tua yang ada pada saat pembuatan burasa ini,” tutup Feby.