JAKARTA - Menjelang Idulfitri selalu disambut dengan gema takbir dan iringan beduk. Selain itu, keguaan lain dari beduk tak lain adalah menjadi penanda bahwa waktu Salat segera tiba. Lantas bagaimana sejarah beduk?
beduk menyerupai alat musik tabuh gendang. Bagian beduk yang ditabuh terbuat kulit banteng. Penggunaan beduk sudah menjadi tradisi turun-temurun.
Saat Ramadan, bunyi beduk juga sering terdengar. Gema suaranya merambat panjang supaya menjangkau orang di kejauhan untuk mengajak orang salat.
Indonesia dengan keragaman budaya memiliki bentuk kearifan lokal dalam memanggil orang untuk Salat. Dahulu, sebelum ada pengeras suara atau speaker, beduk berfungsi sebagai media yang menandakan Salat lima waktu.
Misalnya saja, Akademisi Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten dalam studinya menyebutkan bahwa adalah instrument musik tradisional sejak ribuan tahun lalu.
Alat dakwah Sunan Kalijaga
Mengutip Agus Sunyoto, ia menerangkan bahwa beduk adalah salah satu tambur tengara untuk sembahyang penganut kapitayan. Beduk tetap dipertahankan Wali Wongo sebagai penanda masuknya waktu Salat dan ditabuhkan sebelum adzan.
Beduk menjadi strategi dakwah Sunan Kalijaga untuk mempercepat penerimaan masyarakat terhadap Islam. Sunan Kalijaga saat itu memerintahkan Sunan Pandanarang untuk membuat beduk dan kentongan.
Jadi, selain beduk, kentongan juga digunakan untuk penyeru waktu salat. Bunyi tong-tong-tong pada kentongan bermakna masjid masih kosong atau dalam bahasa Jawa, kothong.
Sedangkan beduk dengan bunyi deng-deng-deng bermakna masji masih muat atau sedeng. Dari sisi dakwah, beduk digunakan untuk menyeru kepada kebaikan menyembah Allah SWT.
Sejak Prasejarah
Arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono mengutip laman Historia menjelaskan, akar sejarah beduk sudah dimulai sejak masa prasejarah, yaitu pada zaman logam.
Ia menguatkan pendapatnya dengan mengatakan, manusia saat itu sudah mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dandang dan banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan Kepulauan Kei.
Fungsi alat tersebut digunakan pada acara keagamaan, maskawin, dan upacara minta hujan. Pada masa Hindu, beduk berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk supaya bersiap perang. Jumlah beduk pada masa itu masih terbatas dan penyebarannya belum merata di Jawa.
Dalam Kidung Malat, istilah yang digunakan adalah beduk dan teg-teg, sejenis genderang dengan ukuran lebih besar daripada beduk. Saat Cornelis de Houtman (1595-1597) datang ke Banten, dalam catatan ia menyebut di setiap perempatan jalan terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibunyikan dengan tongkat pemukul yang tergantung di sebelahnya.
Bunyi dari alat itu menjadi tanda adanya bahaya atau tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam.
Beduk terbesar dan tertua
Beduk terbesar, terkuat dan tertua di Indonesia terdapat di Masjid Darul Muttaqien, Purworejo, Jawa Tengah. Pembuatannya diperintahkan oleh Adipati Tjokronagoro I, Bupati Purworejo pertama pada tahun 1762 Jawa atau 1834 M.
Panjang beduk ini adalah 292 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling bagian belakang 564 cm. Kemudian diameter bagian depan sepanjang 194 cm dan diameter bagian belakang sepanjang 180 cm.
Beduk raksasa ini dibuat supaya suaranya terdengar sejauh-jauhnya untuk mengundang jamaah melaksanakan Salat.