JAKARTA - Citra Jakarta sebagai kota terpadat bukan pepesan kosong belaka. Ketersedian lahan untuk pembangunan perumahan kian terbatas pada era 1990-an. Namun, kondisi itu bukan halangan bagi pengembang menjalankan bisnis propertinya. Mandara Permai, misalnya.
Perusahaan yang pernah dipimpin oleh pengusaha kesohor Ciputra tak kehilangan akal. Ia mencoba menyulap kawasan rawa di utara Jakarta jadi salah satu pemukiman besar di Jakarta: Pantai Indah Kapuk (PIK). Masalah pun mengikuti.
Andil pemerintah DKI Jakarta mengubah rawa-rawa di pesisir utara Jakarta bawa berkah. Rawa-rawa itu kemudian direklamasi jadi kawasan Ancol sedari 1970-an. Jakarta punya tempat hiburan baru. Proyek Ancol pun mendapatkan pujian dari sana-sini.
Banyak pebisnis kepincut. Keinginan membangun hunian berkualitas di kawasan pesisir utara muncul. Pengusaha Ciputra mulai menggerakkan perusahaannya, Metropolitan Development menguasai saham pengembang PT Mandara Permai.
Mandara Permai lalu berencana membangun pemukiman di pesisir utara Jakarta. Ciputra pun menamakan proyeknya sebagai PIK sedari 1984. Proyek itu digadang-gadang bisa menjawab masalah terbatasnya lahan di Jakarta. Ciputra percaya diri proyek itu berhasil.
Kepercayaan diri itu didapat karena ia pernah bekerja di BUMD Jakarta, Pembangunan Jaya. Ia jadi aktor penting soal reklamasi proyek Ancol. Proyek itu dianggap besar di eranya. Mandara Permai coba menghadirkan wilayah baru di tanah seluar 1.100 hektar.
Rencananya kawasan itu akan dihuni 12 ribu rumah mewah. Ada juga puluhan hotel hingga apartemen mewah. Ciputra dan Mandara Permai pun percaya diri karena sudah mendapatkan restu pemerintah pusat hingga daerah. Proyek itu pun dijadwalkan berlangsung mulai 1992. Peminatnya pun mulai hadir satu demi satu.
“Cerita berawal pada 1984, ketika Departemen Kehutanan memberikan izin kepada PT Mandara Permai untuk membangun proyek PIK di atas hutan Muara Angke. Perusahaan ini kemudian menguruk rawa di pinggir pantai dan sepanjang jalan tol Sedyatmo. Ini jalan menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta.”
“Rencananya di lahan seluas 1.100 hektare itu bakal dibangun 10 hotel berbintang, 10 perkantoran, 10 kondominium, dan kompleks permukiman dengan 12 ribu unit rumah. Kompleks ini akan dilengkapi sebuah taman laut, sebuah marina (bandar kapal yacht), dan lapangan golf (18 lubang). Proyek senilai Rp3 triliun ini mentereng, baik anggaran maupun desainnya,” tertulis dalam laporan majalah Tempo berjudul Reklamasi Kontroversi (2016).
Munculnya Tentangan
Proyek reklamasi PIK tak berjalan mulus-mulus saja. Proyek itu mendapatkan tentangan dari sana sini. Banyak yang menganggap kehadiran PIK hanya membawa banyak mudarat ketimbang manfaat bagi ekosistem pesisir di Jakarta.
Tentangan bahkan muncul dari tubuh pemerintah pusat. Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim angkat bicara. Ia menyurati Pemerintah DKI Jakarta terkait hadirnya Mandara Permai di PIK.
Emil Salim menganggap izin yang dikeluarkan pemerintah DKI Jakarta cacat. Proyek PIK dianggap cacat secara AMDAL. Emil melihat bahwa ancaman kerusakan lingkungan besar hadir di PIK. Apalagi, Mandara Permai dianggap tak mampu menghadirkan syarat hutan dan danau buatan.
Kritikan dari ahli lingkungan hidup pun muncul. Kehadiran PIK dianggap akan berdampak pada kemungkinan tenggelamnya jalan Tol Sedyatmo yang menghubungkan Jakarta – Bandara Soekarno-Hatta. Reklamasi itu mengancam pula Cagar Alam Angke Kapuk.
Ciputra dan Mandara Permai pun mencoba menepis semua anggapan. Mereka percaya diri bahwa kehadiran PIK takkan merusak ekosistem pesisir. Reklamasi PIK pun terus berjalan. Sekalipun sempat terganggu karena adanya krisis moneter 1997-1998.
Krisis itu membuat Ciputra menjual saham mayoritasnya di bawah panji Metropolitan Development. Akhirnya proyek itu dilanjutkan oleh pemegang saham mayoritas yang baru. Puncaknya, kawasan PIK mulai dikomersilkan pada 2003.
BACA JUGA:
“Tumpang tindih reklamasi terjadi mungkin karena tak ada batas yang jelas antara cagar alam dan proyek PIK. Padahal, sebelumnya, pemilik PIK, yakni PT Mandara Permai, telah sepakat untuk membangun pembatas antara cagar alam dan lokasi proyek selebar 100 meter. Nah, jangankan hutan ataupun danau buatan, pembatas itu saja tidak juga dibangun.”
“Yang disibukkan adalah reklamasi pasir, sehingga puluhan truk pasir tak henti-henti menggilas kawasan penyangga cagar alam. Menurut sumber Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan), pembangunan permukiman di daerah penyangga cagar alam telah menyalahi Undang-Undang Tata Ruang. Maksudnya, jika pembangunan PIK akan diteruskan, DPR harus dikonsultasi untuk perubahan peruntukan daerah penyangga,” pungkas Bambang Aji dan Sri Wahyuni dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Menelusuri Angke dan Reklamasi PIK (1994).