Bagikan:

JAKARTA - Wangari Muta Maathai adalah seorang penentang. Ia menentang segala kezaliman yang banyak terjadi di negaranya. Ia bahkan sempat menentang beberapa kebijakan presiden yang dianggap merusak lingkungan, sampai-sampai dicap subversif. Pecinta Lingkungan asal Kenya ini menjadi perempuan Afrika pertama yang mendapat Hadiah Nobel Perdamaian.

Wangari Muta Maathai lahir pada 1 April 1940 di Nyeri, Kenya. Ia bisa dibilang adalah seorang bintang sekolah. Karena kecerdasannya, Maathai memenangi beasiswa untuk belajar biologi di Kampus Mount St. Scholastica di Atchison. Ia lulus di sana pada tahun 1964. Ia memperoleh gelar master sains dari Universitas Pittsburgh. 

Maathai tidak buru-buru puas diri. Ia kembali melanjutkan pendidikan untuk memperoleh gelar doktor anatomi hewan di Universitas Nairobi. Ia menjadi wanita pertama di Afrika Timur atau Tengah yang memiliki gelar seperti itu seperti dikutip situs Hadiah Nobel. Sebagai seorang doktor, tentu belum lengkap apabila belum membuat sebuah buku. Maka, pada tahun 2006, ia menerbitkan buku bertajuk Unbowed: A Memoir.

Maathai memenangi Nobel Perdamaian pada 2004. Seperti apa yang disebut komite Nobel pada waktu itu, ia mendapatkan penghargaan itu atas kontribusinya terhadap pembangunan berkelanjutan, demokrasi dan perdamaian. Itu merupakan momen kebanggaan luar biasa di Kenya dan seluruh Afrika umumnya.

Gerakan Sabuk Hijaunya telah berhasil menanam sebanyak 30 juta pohon di Afrika dan telah memberdayakan hampir 900 ribu wanita, dikutip The New York Times. "Wangari Maathai adalah kekuatan alam," kata Achim Steiner, Direktur Eksekutif Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Steiner menganalogikan Maathai sebagai pohon akasia yang berada di mana-mana di Afrika. "Berkarakter kuat dan terkadang mampu bertahan dalam kondisi paling keras," kata Steiner dikutip dari artikel yang sama.

Selain penghargaan Nobel, Maathai juga banyak menerima gelar kehormatan, termasuk gelar doktor kehormatan dari Universitas Pittsburgh pada 2006. Selain itu, ia juga mendapat penghargaan Legiun dari Prancis dan Grand Cordon dari Jepang. 

Maathai, merupakan salah satu wanita paling dihormati di benua itu. Ia punya banyak kontribusi di sana, mulai dari pecinta lingkungan, feminis, politisi, profesor, aktivis hak asasi manusia serta founder dari Gerakan Sabuk Hijau yang ia dirikan pada 1977.

Wangari Muta Maathai (Sumber: nobelprize.org)

Dituduh subversif

Perjuangan Maathai bukan tanpa halangan. Ia pernah bertentangan dengan Presiden Kenya Daniel arap Moi. Saking kerasnya Maathai menentang, sampai Moi menyebut Gerakan Sabuk Hijau yang digawangi Maathai sebagai gerakan subversif selama tahun 1980-an. 

Moi pernah mencemooh Maathai karena mendalangi protes kepada Moi soal rencana pemerintah membangun gedung pencakar langit di lokasi taman pusat satu-satunya di Nairobi. Pengajuan itu pada akhirnya dibatalkan tak lama setelah polisi setempat memukuli Maathai selama protes berlangsung. 

Ketika Moi mengundurkan diri setelah 24 tahun berkuasa, Maathai menjabat sebagai anggota parlemen sekaligus asisten menteri pada bidang lingkungan. Ia kemudian didepak sebagai asisten menteri beberapa tahun kemudian ketika ia tidak disukai oleh para pemimpin baru Kenya. 

Pada 2008, setelah ia diusir dari pemerintahan, insiden kekerasan yang pernah dilakukan oleh aparat menimpa Maathai untuk kali kedua. Ia pernah diserang dengan gas air mata oleh polisi selama protes terhadap ekses yang dilakukan oleh politisi Kenya yang sudah mengakar. 

Selain itu, kehidupan rumah tangganya pun tak luput dari masalah. Suaminya, Mwangi, menceraikannya dengan alasan bahwa Maathai terlalu kuat untuk seorang wanita. Saat dalam persidangan perceraian, Maathai divonis kalah oleh hakim. Tak puas dengan keputusan hakim, ia kemudian mengkritik hakim tersebut hingga ia kemudian dijebloskan ke penjara.

Maathai mengembuskan napas terakhirnya di Nairobi, Kenya pada usia 71 tahun. Penyebabnya adalah kanker, menurut keterangan dari pihak organisasinya, Gerakan Sabuk Hijau. Sebelum meninggal, Maathai dirawat karena kanker ovarium dalam setahun terakhir dan bahwa dia telah dirawat di rumah sakit setidaknya seminggu sebelum ia meninggal. 

Dalam pidatonya ketika menerima Nobel, Maathai pernah bilang, inspirasi terbesar dari semua pekerjaan yang telah ia lakukan berasal dari kehidupan di pedesaan Kenya. Saat itu ia mengenang tentang aliran air yang mengalir di sebelah rumahnya yang telah mengering, dan ia menceritakan bagaimana nikmat dan segarnya minum air bersih. 

"Dalam perjalan sejarah, ada saatnya umat manusia dipanggil untuk beralih ke tingkat kesadaran baru," kata Maathai. "Suatu saat kita harus membuang rasa takut kita dan memberikan harapan satu sama lain. Dan waktu itu adalah sekarang," ujarnya.