JAKARTA - Kekayaan budaya Indonesia tak pernah habis. Dansa poco-poco, misalnya. Lagu yang mulanya digemari untuk senam, jadi tarian persahabatan di seantero negeri. Barang siapa yang mendengar irama poco-poco, mereka akan ambil bagian menggerakkan tubuh: maju-mundur, ke kanan ke kiri.
Gerakannya pun kian berkembang tiap waktu. Tak salah jika poco-poco menjelma bak lagu wajib orang Indonesia di perantauan. Dubes RI untuk Argentina bahkan jadikan dansa itu ajian memperkenalkan budaya Nusantara.
Narasi Indonesia kaya akan budaya bukan pepesan kosong belaka. Tiap daerah bak memiliki senimannya sendiri. Pecinta seni itu kemudian berproses mengedepankan elemen kedaerahan. Hasilnya gemilang. Buah karya seniman –nyanyian, cerita, hingga tarian-- dapat dinikmati khalayak luas.
Arie Sapulette, misalnya. seniman asal Ternate itu mencoba menciptakan sebuah lagu daerah. Poco-poco, namanya. Lagu itu mulai dinyanyikan Arie bersama saudaranya yang lain dalam format grup bernama Nanaku Group pada 1993.
Lagunya mampu membius seisi Indonesia Timur, kemudian Indonesia. Semuanya karena lagu poco-poco yang enak didengar, bahasa daerah yang mudah dimengerti, dan lirik yang menegaskan kecintaan.
Kepuleran lagu itu makin meningkat kala penyanyi Yopie Latul membawa kembali lagu ini pada 1995. Lagu poco-poco lalu digunakan terbatas –TNI dan Polri—sebagai lagu pendamping senam. Perlahan-lahan, semangat dansa poco-poco menyebar ke seantero negeri seiring populernya lagu.
Irama poco-poco kemudian menyebar di seantero negeri. Dari sekolah-sekolah hingga instansi pemerintahan. Pun kemudian gerakan-gerakan senam poco-poco, mulai diakulturasi dengan gerakan tarian dari berbagai macam daerah. Karenanya, poco-poco memiliki pakemnya sendiri di tiap daerah.
Lagu yang awalnya kesohor di Ternate pun, mulai menjelma bak jadi milik seisi Indonesia. Apalagi, dansa poco-poco kerap dilanggengkan pada hari besar kenegaraan di dalam dan luar negeri.
“Poco-Poco, lagu daerah Ternate benar-benar menikmati manisnya pasar lagu di Tanah Air. Bahkan karya Arie Sapulette itu menemani para penjoget di Belanda dan Amerika Serikat dan menjadi ‘lagu wajib’ perhelatan orang Indonesia di perantauan. Bagi Yopie Latul, pelantun Poco-Poco-menyabet AMI Sharp Award 2001 untuk kategori disko, house music, rap, dan dance music- keberhasilan itu membawa berkah. Antara lain, jadwal pentas yang padat.”
“Malah, dalam dua tahun terakhir, ia tampil dalam acara "Pasar Malam Asia" di Belanda. Dan lagu Poco-Poco tak boleh lupa. Tahun depan Yopie bakal terbang ke AS. Mestinya, makin padat acara, makin tebal pula dompet. Yopie tak mengelak. Cuma, kalau untuk beli mobil atau rumah baru, wah, belum ada itu,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Yopie Latul: Urusan Polisi (2001).
Andalan KBRI Buenos Aires
Kepopuleran poco-poco tak lekang oleh waktu. Poco-poco bak dapat mencocokkan diri dengan selera zaman. Bahkan, penggemarnya tak hanya hadir di dalam negeri saja, tapi juga poco-poco digandrungi oleh mereka yang berada di perantauan.
Dubes Indonesia untuk Argentina, Paraguay, dan Uruguay, Kartini Boru Panjaitan atau yang lebih dikenal Nurmala Kartini Sjahrir mengakuinya. Adik dari tokoh politik Luhut Binsar Panjaitan itu mengaku terus rindu akan poco-poco.
Dansa itu dilanggengkannya dalam tiap kesempatan, dari 2010 hingga 2014. Tarian poco-poco kerap dilanggengkannya kala ada hajatan bersifat internal, maupun promosi budaya. Poco-poco kerap jadi unggulannya.
Poco-poco dipilih Kartini yang berkantor di Buenos Aires karena popularitas poco-poco di Indonesia. Poco-poco dianggap bak gerbang orang Argentina, Paraguay, maupun Uruguay mengenal budaya Indonesia lainnya. Apalagi, Kartini tak mau kalah dengan dubes Asia lainnya di Argentina yang memperkenalkan budaya masing-masing.
Perlahan-lahan penduduk Amerika Latin mulai mengenal poco-poco. Semuanya karena dubes RI paling sering melanggengkan hajatan pameran hingga fashion show di Argentina dan lainnya. Tongkat estafet mempopulerkan poco-poco kemudian dilanggengkan penerus Kartini. Senam poco-poco terus jadi pilihan utama kala ada hajatan kenegaraan di Argentina.
“Oleh karena aku suka berdansa, maka kalau ada acara ASEAN Family Day, misalnya, aku langsung memimpin acara dansa poco-poco dan sajojo. Sebagai rumah tangga yang berisi keluarga besar, aku selalu berusaha agar semua anggota rumah tanggaku (KBRI) mendapatkan perhatian yang cukup.”
“Acara-acara pertemuan makan-makan misalnya adalah acara yang secara rutin kulakukan agar tali silahturahmi tetap berjalan dengan baik dan sinergi kerja bisa dipotimalkan. Kepada stafku selalu aku ingatkan bahwa fungsi KBRI di luar negeri adalah fungsi promosi. Kita harus tunjukkan bahwa kita bangsa yang kaya dalam segala hal,” terang Kartini Sjahrir dalam buku Rumah Janda (2014).