JAKARTA – Sejarah hari ini, 45 tahun yang lalu, 6 Oktober 1978, Mick Jagger melalui label rekamannya, Atlantic Records meminta maaf atas lagu, Some Girls yang dianggap rasis dan melecehkan kaum wanita kulit hitam. Lagu itu diciptakannya untuk The Rolling Stones bukan dengan makna luas.
Lagu itu bentuk parodi pikiran seseorang. Sebelumnya, Jagger dan The Rolling Stones adalah kombinasi yang pas. Band itu bak rumah bagi Jagger mendalami bakatnya sebagai penyanyi kesohor dunia.
Boleh jadi Mick Jagger tak memiliki keresahan dalam kehidupan sehari-hari. Ayahnya yang seorang borjuis jadi muaranya. kehidupan bak kelas atas itu menjembatani Jagger dengan banyak hal. Ia mampu melenggang-langgeng menempuh pendidikan.
Ia bahkan berkuliah di London School of Economics. Lebih lagi, Jagger dapat mengasah bakat musiknya lebih dalam tanpa memikirkan bagaimana kehidupan seharusnya bekerja.
Ia dan kawan-kawannya kemudian membentuk band. Namun, seiring pendewasaan dan gonta-ganti personil. Jagger kerasan dalam suatu band yang kerap tampil urak-urakan. The Rolling Stones namanya. Band itu mulainya digawangi Mick Jagger (vocal), Brian Jones (multi-instrumentalis), Keith Richards (gitar), Bill Wyman (bass), dan Charlie Watts (Drum).
Album pertama mereka yang rilis di pasaran bertajuk sama dengan nama bandnya, The Rolling Stones (1964). Kehadiran album itu terhitung fenomenal di Inggris. Walaupun di luar Inggris tak begitu bertaji. Seisi Inggris bak punya idola baru.
Kemunculan The Rolling Stones semakin mempopulerkan jalan hidup Jagger sebagai seorang penyanyi. Aksi panggungnya unik kerap dinanti-nanti penggemarnya. Apalagi, sikapnya yang seakan-akan melawan pakem bahwa musik harus tenang dan membawa muatan kebaikan.
Jagger berhasil membawa The Rolling Stone identik dengan sikap-sikap urakan. Seisi dunia kemudian mengenal band dengan ikon lidah dan bibir. Pun perlahan-lahan aksi panggung Jagger yang tak umum mulai dianggap lazim dan menjadi tren di seantero negeri.
Dari lirik yang blak-blakan, gaya berjalan, joget, hingga lompatan Jagger. Ia senang saja dengan aksi itu. ketekunan itu membawa Jagger dan The Rolling Stones meraih puncak ketenaran. Pun banyak album-album baru yang meledak di pasaran.
“Sesungguhnya mereka bukan tukang protes, tapi lebih merupakan sekelompok anak muda yang mempergunakan musik untuk menjadi kaya dan terkenal. Mereka bukan pahlawan, hanya anak muda yang berambisi mengangkat kesederhanaan musik R&B atau Rhythm and Blues -musik yang kasar, yang dimengerti oleh sekelompok orang-- ke kalangan yang lebih luas. Menurut ukuran standar musik pop Inggris tahun 1960-an yang sedang melahirkan The Beatles, musik Stones memang urakan.”
“Iramanya cepat, padat, dan tajam kontras dengan keriangan Beatles -- dengan tonjolan pada penampilan vokal, gitar, dan alat perkusi. Mick Jagger dengan raut muka anak nakal dan bibir dower menyanyi dengan kurang ajar. la sering berdesah, sengaja kepeleset mengucapkan kata-kata, tak hanya sekadar bertujuan agar terdengar seksi. Stones yang hadir dengan rambut gondrong dan kumal lalu seakan-akan mewakili kebebasan,” terang Putu Wijaya dan Linston P. Siregar dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Menentang Kemapanan Kelas Menengah (1988).
Kepopuleran Mick Jagger dan The Rolling Stones kian meningkat tiap tahunnya. Namun, jalan The Rolling Stones tak mulus-mulus saja. Jagger, misalnya. pentolan The Rolling Stones itu pernah membuat lagu berjudul Some Girls yang sama dengan nama albumnya, Some Girls (1978).
Aktivis kemanusiaan dari People United to Save Humanity (PUSH), Jesse Jackson menganggap lagu itu melanggengkan narasi rasis dan merendahkan kaum wanita kulit hitam. Ia mewakili keresahan banyak orang melakukan protes karena ada penggalan lirik vulgar: Black girls just want to get f****d all night.
Mick Jagger menyangkal lirik itu sengaja dibuat sebagai ungkapan rasis. Ia berpandangan lagu itu dibuat dalam artian sempit. Sebagai bentuk parodi pikiran seseorang. Namun, Jagger tetap meminta maaf kepada mereka yang tersinggung.
BACA JUGA:
Permintaan maaf Jagger diwakilkan petinggi Atlantic Records, Ahmet Ertegun langsung kepada Jesse Jackson pada 6 Oktober 1978. Permintaan maaf itu mengakhiri kontroversi yang menyebabkan ketersinggungan banyak pihak kepada Mick Jagger dan The Rolling Stones.
“Saat saya pertama kali mendengar lagunya, saya memberi tahu Jagger bahwa lagu itu tidak akan berjalan dengan baik. Jagger meyakinkan saya bahwa itu adalah parodi dari tipe orang yang memiliki sikap seperti ini. Jagger sangat menghormati orang kulit hitam. Dia berhutang seluruh keberadaannya, seluruh karier musiknya, kepada orang kulit hitam,” terang Ertegun sebagaimana dikutip Majalah Rolling Stone, 16 November 1978.