21 Januari dalam Sejarah: Mengungkap Alasan Mengapa Pengeboman Candi Borobudur Terjadi
Dampak ledakan di Candi Borobudur 1985 (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Serangkaian peristiwa kekacauan terjadi sejak akhir 1984 di era Orde Baru. Salah satunya adalah peristiwa pengeboman di Candi Borobudur, Magelang yang terjadi hari ini 21 Januari 36 tahun lalu atau pada 1985. Pemicunya: upaya penerapan prinsip asas tunggal Pancasila di setiap organisasi.  

Saat itu, pemerintahan Soeharto ingin membuat Undang-Undang (UU) yang mengukuhkan Pancasila seagai asas tunggal dalam setiap kegiatan berorganisasi. Partai atau organisasi sekuler tentu tak punya masalah dengan itu. Namun, lain cerita bagi organisasi atau partai berbasis agama. Upaya pengesahan UU ini menimbulkan pertentangan sengit.

Aksi pengeboman Candi Borobudur sejatinya aksi balas dendam atas insiden Tanjung Priok dimana umat Islam yang anti-asas tunggal ditembaki tentara. Peristiwa itu lantas memancing merahan yang luas termasuk dari kalangan Ikwanul Muslimin buatan Husein Ali Al-Habsyi dan Ibrahim Djawad.

Angga Novian Pratama dkk dalam tulisannya yang dimuat Journal of Indonesia History pada 2019 menjelaskan, Husein dan Ibrahim bekerja sama untuk melakukan berbagai aksi teror sebagai aksi balas dendam. Salah satu sasarannya yakni gereja. Mereka menyasar gereja sebagai ekspresi kemarahan terhadap orang Kristen yang dianggap bersekutu dengan Soeharto yang menindas umat Islam.

Husein Ali Habsyi dan kawan-kawannya sepakat untuk melakukan pembalasan lewat teror. Sebelum meledakan Candi Borobudur mereka membom Gereja Sasana Budaya Katolik di Malang. 

Alasan mereka menarget Candi Borobudur adalah untuk menandingi kemurnian Islam. Sebab Candi Borobudur mereka anggap sebagai lambang pemujaan berhala. Mereka juga punya alasan politis: sebagai peringatan kepada Soeharto dan keluarganya, karena Candi Borobudur akan dibinsiskan oleh Titiek Soeharto yang sudah dapat persetujuan dari Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (Parpostel). 

Kalau bom gereja menggunakan kata sandi Pesta Natal, rencana peledakan Borobudur menggunakan kata sandi Camping. Ibrahim kemudian merakit sisa bahan peledak yang digunakan untuk mengebom gereja-gereja saat malam natal. 

Kronologi pengeboman

Aksi pengeboman Candi Borobudur digelar pada 20 Januari malam. Sekitar pukul 7 malam mereka berangkat dengan bus dari Lawang menuju Yogyakarta. Setelah sampai losmen, Ibrahim bersama rekannya, Achmad Muladawila mulai bergerak menuju lokasi dengan membawa tas berisi 14 buah bom yang sudah dirakit. 

Mereka memasuki kawasan Candi lewat pintu selatan. Sekitar pukul 8 malam, mereka tiba di atas Candi Borobudur. Ibrahim dan Achmad meletakkan bom waktu ke stupa-stupa sebanyak 13 buah. 

Masing-masing bom diperkirakan akan meledak 5 jam kemudian atau pada pukul 1 dini hari ini 36 tahun lalu. Setelah berhasil memasang bom, mereka langsung pergi meninggalkan Candi menuju Magelang lalu kemudian ke Semarang.  

Dinamit itu kemudian meledak pada pukul 1.30 sampai 3.30 WIB. Menurut saksi ledakan bom terdengar sebanyak sembilan kali. Akibatnya, sembilan stupa ambrol, dua patung hancur, dan dua patung lainnya rusak berat.

Ledakan yang diakibatkan bom yang dipasang terdengar sampai dirasa oleh masyarakat sekitar. “Rumah itu sampai bergetar kaca-kaca, pintu, jendela dan lain-lain. Saya langsung dapet laporan dari anak buah saya kalau Candi Borobudur dibom. Kemudian kami menghubungi instansi terkait," kata Kepala Satpam Candi Borobudur, Basjuni Supriyadi.

Peristiwa itu tidak buru-buru terungkap hingga dua bulan proses penyelidikan oleh aparat. Aparat baru mendapat titik terang saat terjadinya peristiwa kecelakaan tak disengaja yakni meledaknya Bus Pemudi Ekspres di Banyuwangi yang kemudian berbuntut tertangkapnya Abdulkadir Ali Al-Habsyi yang tak lain adik kandung Husein bin Ali Al-Habsyi.

Proses pemeriksaan Abdulkadir membuahkan hasil. Aparat kemudian berhasil membekuk Achamd Muladawila pada 19 April 1985. Jaringan-jaringan mereka satu persatu mulai ikut terciduk termasuk Abdulkadir Braja dan Basiurn Sinere.  

Achmad dan Abdulkadir Ali-Alhabsyi kemudian dihukum 20 tahun penjara. Sedangkan Husein diganjar hukuman penjara seumur hidup, yang sebelumnya dituntut oleh jaksa dengan hukuman mati. Mereka menjalani hukuman sampai kemudian pada pemerintahan Habibie memberikan kepada Husein sehingga ia dapat menghirup udara bebas pada 23 Maret 1999.