JAKARTA – Presiden Soeharto tak pernah menampik peran pekerja migran Indonesia. Tenaga Kerja Wanita (TKW), utamanya. Kerja migran dianggap sebagai salah satu sumber pendapatan negara terpenting. Kerja-kerja domestik yang dilakukan jadi amunisi pembangunan nasional.
Fakta itu membuat penguasa Orde Baru (Orba) menaruh perhatian serius kepada pekerja migran. Dalam mendekati hari lebaran, misalnya. Soeharto meminta pekerja migran supaya tak sering mudik. Imbauan itu supaya hasil jerih payah mereka tak melulu habis untuk biaya perjalanan.
Pertumbuhan ekonomi di era pemerintahan Presiden Soeharto dan Orba cukup pesat. Pemerintah Indonesia melakukan banyak gebrakan untuk mewujudkan itu. Upaya memberikan dukungan penuh kepada pekerja migran, salah satunya.
Sekalipun dukungan itu ikut pula menelanjangi ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang melimpah. Mereka yang tak mendapat pekerjaan layak dan kualifikasi pendidikan rendah didukung untuk menjadi pekerja migran ke luar negera.
Upaya itu mampu menanggulangi masalah kurangnya sumber daya manusia di sektor yang kurang dinikmati orang-orang di negara tujuan pekerja migran. Dari Malaysia, Hong Kong, Korea, hingga Arab Saudi.
Sektor pekerjaan ranah domestik, misalnya. Pekerja Rumah Tangga (PRT) maupun pekerja perkebunan. Pekerjaan itu semakin diminati tenaga kerja Indonesia karena upah yang diterima menggairahkan. Utamanya, karena pekerjaan itu tak membutuhkan kualifikasi khusus –seperti pendidikan tinggi—untuk bekerja.
Orba pun tak tutup mata dengan prestasi pekerja migran. Empunya kuasa turun membuat reguliasi yang memudahkan pekerja migran bekerja di luar negeri. Sebab, pekerja migran diakui Orba sebagai salah satu ‘donatur’ pembangunan Indonesia. Apalagi, pekerja migran dapat membawa uang masuk ke negera dengan jumlah yang besar. Fakta itu membuat pekerja migran kerap dijuluki sebagai pahlawan devisa negara.
“Peran ekonomi pekerja migran untuk pertama kalinya diakui secara terbuka ketika Pemerintah Orde Baru menerap Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) IV (1984-1989), yang berlanjut ke Repelita V, selama pemerintahan Orde Baru.”
“Hasilnya, sektor kerja migran menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang terpenting dalam APBN sampai sekarang. Pemerintah menganggap kerja migran sebagai bagian dari pembangunan ekonomi,” terang Sulistiowati Irianto dalam buku Akses Keadilan dan Migrasi Global (2011).
Jangan Sering Mudik
Orba menganggap banyak sisi positif dari kehadiran pekerja migran. Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri itu dianggap mampu memecahkan masalah pengangguran di Indonesia. Menambah devisa negara pula. Presiden Soeharto memahami benar hal itu.
Ia kerap mempelajari nasib pekerja migran. Soeharto bahkan tahu bagaimana hasrat pekerja migran untuk segera berkumpul dengan keluarga yang tinggi. godaan pulang ke rumah pun menjadi tinggi. Utamanya, pada Hari Raya Idulfitri.
Kebanyakan pekerja migran akan melanggengkan tradisi mudik Lebaran. Namun, Soeharto justru mengimbau supaya pekerja migran tak sering-sering mudik Lebaran. Alias, mudik boleh saja, tapi jangan keseringan.
Memang benar hasrat keinginan berjumpa sanak keluarga penting. Namun, Soeharto menyayangkan jika hasil jerih payah mereka banyak habis hanya untuk membiayai perjalanan mudik. Soeharto pun menyarankan supaya pekerja migran maupun transmigran (pekerja luar pulau) untuk memanfaatkan sarana komunikasi lainnya untuk melepas kerinduan.
Entah lewat pos atau memanfaatkan jalur telekomunikasi yang ada. Karenanya, pendapatan mereka selama bekerja dapat dikirim dengan maksimal kepada keluarga. Manfaatnya pun bisa lebih besar, dibanding harus mengeluarkan dana besar yang melulu untuk perjalanan pulang.
“Presiden Soeharto mengharapkan para transmigran dan pekerja yang bertugas di luar kampung halamannya agar tidak sering-sering pulang mudik, supaya hasil jerih payah mereka tidak habis untuk membiayai perjalanan tersebut.”
“Untuk melepas rasa rindu kepada sanak keluarga di kampung halaman, para transmigran dan pekerja sebaiknya memanfaatkan secara maksimal sarana pos dan telekomunikasi. Harapan tersebut disampaikan Kepala Negara melalui Gubernur Bengkulu, Surapto, yang menghadapnya di Istana Merdeka pagi ini, 28 Juli 1984,” tertulis dalam buku Jejak Langkah Pak Harto: 16 Maret 1983-11 Maret 1988 (1992).