Dahsyatnya Gempa dan Tsunami Aceh 16 Tahun yang Lalu
Gempa bumi dan tsunami Aceh (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Dua puluh enam Desember 2004 merupakan hari yang tidak terlupakan bagi Indonesia, khususnya warga Aceh. Saat itu, terjadi gempa bawah laut yang dahsyat dan memicu tsunami. Gempa berkekuatan 9,1 SR itu menjadi gempa megathrust yang sangat kuat, terjadi di mana lempeng samudera yang berat tergelincir di bawah lempeng benua yang lebih ringan. Gempa terjadi pada pagi hari, ketika banyak orang telah memulai aktivitas. Setelah gempa mengguncang, tsunami mulai menggulung sekitar 100 kilometer sebelah barat pantai Sumatra pada pukul 07.59 WIB. 

Gempa tersebut menyebabkan dasar laut naik tiba-tiba setinggi 40 meter, memicu tsunami besar. Dalam waktu 20 menit setelah gempa bumi, gelombang pertama dari beberapa gelombang tinggi menghantam garis pantai Banda Aceh, menewaskan lebih dari 100.000 orang dan mengempaskan Aceh menjadi puing-puing. 

Dahsyatnya gempa juga memberi dampak ke negara tetangga. Secara berurutan, gelombang tsunami menggulung garis pantai di Thailand, India, dan Sri Lanka. Tsunami menewaskan puluhan ribu lainnya. Delapan jam kemudian dan 5.000 mil dari pusat gempa Asia, tsunami menelan korban jiwa terakhirnya di pantai Afrika Selatan. Secara keseluruhan, hampir 230.000 orang tewas, menjadikannya salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah modern. 

Gempa bumi yang menimbulkan tsunami di Aceh adalah gempa terparah ketiga di dunia setelah Gempa Cile pada 1960 dan gempa Alaska pada 1964. Pada 22 Mei 1960, gempa bumi di Cile memiliki kekuatan 9,5 SR. Zona retakan membentang perkiraan mulai dari 500 kilometer hingga hampir 1.000 kilometer di sepanjang pantai negara. Kota yang paling berdampak dari gempa tersebut adalah Valdivia. Gempa tersebut menyebabkan dua juta orang kehilangan tempat tinggal, melukai sedikitnya 3.000 orang, dan menewaskan sekitar 1.655 orang. 

Menurut National Geographic, gempa Cile memicu tsunami besar yang melesat melintasi Pasifik. Gelombang menghantam komunitas pesisir hingga Selandia Baru, Jepang, dan Filipina. Di Hawaii, tsunami menghancurkan kota pesisir Hilo, menewaskan 61 orang.

Selain itu, gempa Alaska pada 1964 berkekuatan 9,2 SR. Gempa tersebut sangat kuat sehingga tercatat di semua negara bagian Amerika Serikat (AS) kecuali Connecticut, Rhode Island, dan Delaware. Gempa tersebut juga menyebabkan terobosan ilmiah yang signifikan terkait gempa dan cara meminimalkan kehancurannya.

Guncangan hebat menyebabkan putusnya saluran air, saluran pembuangan, dan gas serta meluasnya gangguan telepon dan listrik. Dengan mudahnya merobohkan tiang telepon, rel kereta api yang tertekuk, membelah jalan menjadi dua, menumbangkan bangunan, mobil dan dermaga serta merobek rumah-rumah. Gelombang seismik menyebabkan bumi "berdering seperti lonceng".

Menurut World Vision, sejak tsunami 2004, pemerintah dan kelompok bantuan telah memprioritaskan bencana bencana dan kesiapsiagaan. Hanya tiga minggu setelah tsunami, perwakilan 168 negara menyatakan Kerangka Aksi Hyogo, yang membuka jalan bagi kerja sama global untuk kebajikan bencana. Sejak itu, sensor gempa dasar laut dipasang untuk peringatan dini, dan banyak komunitas telah meningkat untuk melakukan evakuasi dan tanggap bencana.

Gempa bumi dan tsunami besar pada Agustus dan September 2018 telah menguji kemampuan Indonesia dalam menyesuaikan dan memperbaiki diri. Namun pada Desember 2018, terjadi letusan Gunung Anak Krakatau yang menyebabkan longsor bawah laut yang mengakibatkan tsunami di pantai-pantai Sumatera dan Jawa. Tsunami yang tidak terdeteksi karena dipicu oleh aktivitas vulkanik, mengakibatkan lebih dari 400 orang meninggal. Diketahui bahwa pemerintah Indonesia sedang berupaya menambahkan sensor gunung berapi ke sistem peringatannya.