Bagikan:

JAKARTA - Pada 1946, sebuah perkumpulan seniman mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka. Perkumpulan tersebut diprakarsai oleh tiga serangkai tokoh angkatan '45, yaitu Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Nama 'gelanggang' berasal dari nama ruang budaya majalah mingguan Siasat, yaitu gelanggang. Gelanggang juga digunakan sebagai ruang gerak para seniman perkumpulan itu untuk mencetuskan gagasan, ide, dan cita-cita.

Gelanggang Seniman Merdeka diisi oleh seniman berbagai bidang, seperti pengarang, pelukis, musikus, dan lain-lain. Anggotanya, yaitu Mochtar Apin yang merupakan pelukis, Henk Ngantung, Baharuddin M.S, Basuki Resobowo, Pramoedya Ananta Toer, Usmar Ismail, Mochtar Lubis, dan Sitor Situmorang.

Dikutip dari Pengkajian Kritik Sastra Indonesia (2009) yang ditulis Yudiono K.S, tujuan perkumpulan adalah mempertanggungjawabkan penjadian bangsa, mempertahankan dan menyuburkan cita-cita yang lahir dari pergolakan pikiran dan roh, serta memasukkan cita-cita dan dasar itu ke dalam segala kegiatan.

Sementara, berdasar Ensiklopedia Kemendikbud, motivasi yang melatarbelakangi lahirnya perkumpulan seniman ini adalah idealisme seniman angkatan '45 untuk lepas dari ikatan-ikatan atau pengaruh-pengaruh dari angkatan sebelumnya dan juga pihak penguasa yang mereka anggap munafik dan memasung kreativitas seni. Mereka menentang chauvinisme dan menganut paham bahwa seni itu bersifat universal, tidak terkotak-kotak.

Surat Kepercayaan Gelanggang

Setelah itu, lahirlah "Surat Kepercayaan Gelanggang". Surat tersebut diterbitkan pada 22 Oktober 1950 dan menjadi dasar pedoman bagi para anggota Gelanggang Seniman Merdeka. Surat Kepercayaan Gelanggang diterbitkan melalui majalah mingguan, Siasat. Terbitnya Surat Kepercayaan Gelanggang terjadi dua bulan setelah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai organ PKI dibentuk secara lengkap.

“Lekra sebenarnya tidak hanya berhasil ‘mengadopsi’ beberapa hal yang tertuang dalam ‘Surat Kepercayaan Gelanggang’, namun juga mampu menangkap momentum di saat-saat bangsa ini mulai menjalankan roda pemerintahannya tanpa rongrongan Belanda,” kata Maman S. Mahayana dalam Akar Melayu: Sistem Sastra & Konflik Ideologi di Indonesia & Malaysia (2001).

Namun, tidak semua anggota Gelanggang Seniman Merdeka begitu setia berada di perkumpulan tersebut. Mengutip Tirto, sejumlah orang dalam Gelanggang Seniman Merdeka, seperti Basuki Resobowo, Rivai Apin, Pramoedya Ananta Toer, Baharuddin M.S, dan Henk justru berubah sikap dan menyeberang ke Lekra.

Seiring berjalannya waktu, para angkatan muda yang berevolusi mulai menjalani dekolonisasi. Kesadaran atas pentingnya warisan budaya meningkat pesat. Para angkatan muda 1950-1960-an merumuskan dan mengumumkan manifestonya lewat 'Surat Kepercayaan Gelanggang.'

Hingga sekarang, orang-orang selalu merujuk 'Surat Kepercayaan Gelanggang' jika hendak merumuskan konsepsi Angkatan '45 tentang hidup dan seni. Surat Kepercayaan Gelanggang yang dihasilkan oleh Gelanggang Seniman Merdeka seolah-olah menjadi landasan ideal Angkatan '45.