DEPOK - Seorang pengusaha berkewarganegaraan Belanda, Cornelis Chastelein punya pengaruh di Indonesia sejak kompeni berada di negeri ini. Chastelein adalah figur yang melatarbelakangi sejarah munculnya istilah 'Belanda Depok'.
Pada abad ke-16, kala Belanda masih berkuasa, ia datang ke Indonesia bersama rombongan kongsi Belanda Verenigde Oostindie Compagnie (VOC). Kedatangan Belanda ke Indonesia, termasuk berkeliling dunia, membawa tiga misi, yakni gold (kekayaan), glory (kejayaan), dan gospel (penyebaran agama).
Latar belakang istilah 'Belanda Depok' dimulai saat Chastelein merasa sudah tidak sejalan lagi dengan VOC karena tak ingin terlibat politik. Tim VOI mendapat cerita dari salah satu warga keturunan 'Belanda Depok' bernama Abraham Jonathans.
Abraham bilang, kisah ini dimulai pada abad ke-17 ketika Chastelein yang jiwa pengusahanya, memilih fokus pada mengembangkan pertanian dan perkebunan. Ia lalu membeli ribuan hektare tanah di Depok Lama, Depok, Jawa Barat.
"Lahan dia berada di kawasan Depok Lama. Batas utaranya di Margo City, selatan di Ratu Jaya Citayam, batas timur berada di Jembatan Panus kali Ciliwung, kalau Barat di Depok Satu. Lahan tersebut dipatok pakai tugu-tugu," tutur Abraham saat berbincang VOI, beberapa waktu lalu.
BACA JUGA:
Chastelein membutuhkan orang-orang untuk mengelola lahan. Ia membawa 150 budak dari Indonesia bagian timur, seperti Bali, Bugis (Makassar), hingga Timor.
Kepada mereka, Chastelein menawarkan kepemilikan bagian-bagian lahannya dengan ketentuan misi gospel (penyebaran agama).
"Orang-orang dari Indonesia Timur ditawarkan oleh beliau (Chastelein), kalau mau dapat tanah dia, harus masuk Kristen. Sebagian ada yang mau, ada yang tidak. Yang mau masuk Kristen itu termasuk nenek moyang saya," jelas Abraham.
Setelah Chastelein meninggal pada 1714, pemuka agama di Depok membentuk 12 marga. Mereka mendapat lahan yang dibagi rata. Marga-marga tersebut adalah Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel, dan Zadokh.
Abraham merupakan keturunan kedelapan dari marga Jonathans. Di Depok, Abraham memiliki lahan seluas 1,5 hektare. Sebelumnya, keluarga dia memiliki lahan yang luasnya lebih dari itu. Waktu berselang, lahan itu telah dijual ke beberapa pihak, termasuk Pemerintah Kota Depok.
Kejayaan berujung ledekan
Abraham bercerita, sebutan pengikut Chastelein dengan sebutan 'Belanda Depok' memiliki sentimen tersendiri bagi warga pribumi, kala itu.
"Dulu kan memang Belanda Depok kelas elite, beda dengan pribumi. Kita menggunakan bahasa Belanda dan bisa masuk sekolah Belanda di Indoensia," tutur Abraham.
Pada masa kemerdekaan, ketika Belanda harus angkat kaki dari Indonesia, keberadaan warga Belanda Depok terancam. Mereka dianggap sebagai antek-antek Belanda dan mengkhianati revolusi oleh para pejuang kemerdekaan.
Banyak warga Belanda Depok yang diusir hingga dibunuh. Harta mereka dijarah, termasuk tanah warisan Chastelein. Perpecahan tersebut dinamakan perang Gedoran Depok.
"Pada waktu perang Gedoran Depok, orang timur ini kan tuan tanah semua. Saat perang, harta mereka dijarah. Orang pribumi menganggap kita pro Belanda penjajah, padahal kan enggak juga, kita lahir di Indonesia. Pokoknya banyak kecurigaan," ungkap Abraham.
Perpecahan antara pribumi dengan warga Belanda Depok menyisakan sentimen setelah Indonesia merdeka hingga saat ini. "Dulu kan memang Belanda Depok eksklusif dari warga asli. Jadi, sekarang kalau kita masih disebut Belanda Depok, terkesan kayaknya diledekin gitu," tutup Abraham disertai gelak tawa.