JAKARTA - Kala setiap bangunan memiliki cerita, maka tak salah pula jika setiap kawasan atau kampung juga memiliki cerita. Salah satunya ialah Kawasan Cilincing, yang mana namanya berasal dari gabungan dua kata Ci dan Calincing.
Kata Ci berasal dari bahasa Sunda yang berarti anak sungai, dan kebetulan sungainya mengalir dari selatan ke utara. Sedangkan Calincing diambil dari sebuah pohon sejenis Blimbing wuluh, Averrhoa Carambola: termasuk dalam family Oxaldeae, yang kebetulan banyak tumbuh di sekitar wilayah tersebut.
Sehingga pelafalan Ci Calincing, lama kelamaan berubah menjadi Cilincing. Atau sebuah kawasan yang kini menjelma menjadi salah satu kecamatan penting di Kotamadya Jakarta Utara.
Namun, jika diusut, ternyata Cilincing sudah dikenal sejak lama dan telah melegenda menjadi sejarah Jakarta Utara. Karena selain berada di sebelah timur Pelabuhan Tanjung Priok, Cilincing dahulu sudah lebih begitu dikenal bahkan semenjak era kolonial.
Hal itu terekam dari buku berjudul Asal Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat. Ia bercerita setidaknya ada dua penanda yang menjadikan Cilincing menjadi daerah penting di zaman kolonial.
Pertama, Landhuis - rumah peristirahatan - Cilincing yang dibangun oleh Justinus Vinck pada 1740 dan sampai sekarang masih dapat dilihat walaupun keadaan bisa dikatakan tak terlalu baik, yang saat ini bangunan tersebut dihuni oleh beberapa pensiunan anggota polisi dan dikenal dengan sebutan 'rumah Veteran'.
Kedua, Landhuis Vredestain yang dibangun mantan gubernur Pantai Utara Jawa, Nicholas Hartings, pada 1750. Sekali pun landhuis yang kedua itu sekarang sudah tak ada bekasnya.
Selain itu, banyak pula kejadian bersejarah yang terjadi di Cilincing. Termasuk pada 4 Agustus 1811, kala balatentara Inggris mulai merapat ke tepi pantai Cilincing, guna mengambil alih kekuasaan Belanda - yang berada di bawah kontrol Napoleon.
Oleh Tim Hannigan, peristiwa itu digambarkan dalam bukunya Raffles dan Invasi ke Jawa. Ia menuturkan, “Diperlukan waktu hampir 24 jam untuk menyelesaikan pendaratan 12 ribu orang dari kapal di Cilincing. Angkatan perang Inggris terdiri atas resimen Eropa dan India yang hampir sama besar.”
Serta empat hari setelahnya, di bawah terik matahari serta udara kurang segar khas Batavia, angkatan perang Napoleon Belanda yang melihat pasukan Inggris kemudian panik dan berlarian menuju ke perbukitan.
“Empat hari telah berlalu sejak John Leyden berjingkat di tepi pantai Cilincing, namun Inggris tetap baru melihat sedikit angkatan perang Napoleon Belanda, sekadar penampakan sekilas pengintai yang panik, berlari cepat menuju perbukitan,” tambah Tim Hannigan.
Atas peristiwa tersebut, Inggris mulai mencium aroma kemenangan dan setelahnya mendaulat Thomas Stamford Raffles, seorang Inggris menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa dari tahun 1811 hingga 1815.
Begitulah, zaman itu, kini jelas Cilincing sudah berubah banyak. Wajah yang dulu, belum tentu masih dicicipi oleh masa kini. Bagaimana Cilincing kini? Berikut penelusurannya.
Cilincing Kini
Jauh setelah kejadian Inggris merapatkan kapalnya, jelas kini Cilincing telah banyak berubah. Kalau dahulu banyak pohon belimbing wuluh, sekarang jelas tak lagi terlihat. Apalagi mengharap akan rindangnya pepohonan.
Sehingga anggapan panas terik matahari yang sedari dulu menjadi citra Cilincing masih melekat, sembari bersanding dengan citra baru seperti semrawut dan kumuhnya Cilincing yang sudah menjadi pemandangan sehari-hari - di tempat yang dulunya pernah menjadi kawasan pantai Indah.
Efeknya, kala ada masyarakat atau khalayak yang ingin menggali sejarah Jakarta khususnya Cilincing, kebanyakan lebih memilih untuk menghabiskan waktu berkunjung ke Kota Tua yang terkenal karena Museum Sejarah Jakarta, Museum Wayang, Taman Fatahillah, dan Museum Bahari, atau berkunjung ke tempat pusat perdangan masa lalu: Sunda Kelapa.
Sekali pun begitu, bagi yang berkunjung ke Clincing, tetaplah membawakan pengalaman yang menarik terutama berkunjung ke kampung nelayannya.
Menarik karena bisa melihat langsung kesederhanaan penduduk Cilincing. Menarik karena bisa melihat langsung penduduk melakukan proses penjemuran ikan asin, dan menarik karena bisa melihat langsung penduduk memanen kerang.
Indahnya Keberagaman di Cilincing
Selain berkunjung ke kampung nelayan, di tempat ini pula, orang-orang dapat melihat contoh nyata dari indahnya toleransi dan keberagaman. Semua itu dibuktikan dengan hampir tiap rumah ibadah dari ragam kepercayaan yang ada, jaraknya berdekatan. Beberapa di antaranya ada:
Vihara Lalitavistara, sebuah rumah peribadatan agama Buddha berbentuk sebuah klenteng yang disebut-sebut sebagai salah satu klenteng yang tertua di Jakarta. Dalam kompleks vihara ini dilengkapi pula rumah abu, ratusan patung dan tempat-tempat sembahyang tentunya.
Pura Segara, sebuah rumah peribadatan agama Hindu yang berbentuk pura yang disinyalir sebagai satu-satunya pura di wilayah Jabodetabek yang berada di tepi pantai. Kenapa dekat pantai? Karena dalam kepercayaan Hindu, sumber air seperti danau atau pun laut selalu dilambangkan sebagai sumber kehidupan.
Masjid Al Alam Cilincing, sebuah rumah peribadatan umat islam berbentuk sebuah masjid yang termasuk dalam salah satu masjid bersejarah yang ada di Jakarta. Sayangnya, bangunan sudah diperluas dengan beberapa bangunan baru berupa pendopo, sehingga menyisahkan bentuk asli bangunan masjid yang cuma berada di tengah-tengahnya.
Gereja Kristen Jawa, sebuah rumah peribadatan umat Kristen berbentuk gereja yang cukup unik dan tentu saja bersejarah.
Menariknya, beberapa di antaranya termasuk sudah berusia ratusan tahun dan menjadi bangunan cagar budaya DKI Jakarta. Oleh sebab itu, melalui tempat itulah, mereka yang datang setidaknya akan memahami nilai penting dari ragam tempat ibadah, baik itu mengenal nilai sejarahnya, ilmu pengetahuannya, pendidikannya, agamanya, dan kebudayaannya.
Salah seorang yang merasakan adanya manfaat dari keberagaman Cilincing ialah Ira Latief – pendiri Wisata Kreatif Jakarta. Berkat itu, ia dan komunitasnya pun merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai warga Jakarta Utara, untuk memperkenalkan keberagaman yang ada. Oleh karenanya, tercetuslah program yang dinamakan Wisata Kebhinekaan.
Ira yang dihubungi tim VOI lewat telepon, mengungkap tujuan akan wisata kebhinekaan ialah sepenuh-penuhnya untuk membangkitkan toleransi.
Ia berucap, “Wisata kebhinekaan diadakan dengan tujuan membangkitkan toleransi lintas agama dan wawasan kebhinekaan dengan cara fun dan rileks yaitu dengan cara berwisata ke berbagai rumah ibadah yang berbeda-beda.”
“Respons peserta yang ikutan pun sungguh positif. Mereka jadi belajar terkait indah keberagaman dari wisata kebhinekaan dan secara tak langsung mereka bisa belajar untuk memperdalam rasa toleransi di antara sesama umat beragama,” tutup Ira.
Benar saja, wisata jenis ini sungguh menarik, karena terhitung baru dan sangat jarang. Untuk itu, walau saat ini wisata Cilincing belum seramai kota tua. Besar harapan Cilincing bisa dikembalikan seperti masa jayanya dahulu yaitu:
“Menjadi sebuah gerbang penting dalam memasuki bumi nusantara. Sehingga saat memasukinya, orang-orang akan melihat bahwa dari keberagaman lah kekuatan itu hadir.”
Kita terngadahkan muka ke atas
Ke alam bebas dan lepas
di mana pluralisme bisa hidup
dan anti pluralisme tak menemukan ruangnya
di mana perkawinan pendapat bukan pengkhianatan
di mana pertentangan pendapat bukan pengacauan
di mana pembaharuan sikap bukan kejelekan.
(Sepenggal sajak dari Ahmad Wahib)