Sejarah Hari Ini, 22 Maret 1947: Kemerdekaan Indonesia Diakui Mesir
Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim ketika melakukan misi diplomatik ke Mesir pada 10 Juni 1947. (Foto: Eltaher.org)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini 75 tahun yang lalu, 22 Maret 1947, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto. Pengakuan itu didapat Indonesia karena Mesir dan Indonesia sama-sama tak menyukai kolonialisme dan imprealisme. Pun dukungan Mesir jadi bukti jalur diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia lebih efektif, dibanding jalur perang. Karenanya, dukungan itu mampu membuka pintu dukungan negara lainnya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah peristiwa monumental. Indonesia akhirnya dapat lepas dari belenggu penjajahan. Namun, bukan berarti jalan Indonesia sebagai bangsa baru mulus-mulus saja. Periode itu justru Indonesia penuh kesukaran. Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan dengan segala cara.

Empunya pemerintahan pun tak melulu menggelorakan perang sebagai ajian. Mereka paham jika Indonesia belum cukup kuat secara institusional atau pun kekuatan militer. Pemahaman itu yang membuat mengangkat senjata tak pernah dianggap sebagai ujung tombak memerdekaan bangsa.

Sutan Sjahrir, salah satu sosok yang menggelorakan jalur diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. (Foto: Wikimedia Commons)

Kemudian, opsi perang disandingkan dengan jalur diplomasi. Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim adalah beberapa sosok yang mengelorakannya. Langkah itu tak mudah. Banyak pihak yang tak setuju. Mereka menganggap diplomasi cara “kemayu” memerdekaan bangsa.

Kritikan itu pun dianggap sepi oleh pada pejuang yang memperjuangkan nasib Indonesia di dunia internasional. Perjuangan diplomasi tetap dilakukan untuk mendapatkan dukungan dunia. Terlebih lagi, masalah Indonesia bisa jadi agenda persidangan di PBB.

“Menoleh kembali ke tahun-tahun pertama peperangan kemerdekaan kita, saya kini (meskipun waktu itu sebagai seorang muda juga sering merasa tidak sabar dengan politik perundingan) tak begitu yakin dengan sikap kawan-kawan yang menganut ‘paham keras.’ Saya kini cenderung membenarkan politik yang digariskan Bung Sjahrir pada masa itu.”

“Cobalah bayangkan dengan kekuatan persenjataan apa kita pada masa itu akan dapat menghadapi kekuatan perang Inggris dan Belanda, yang menguasai udara dan lautan, angkatan perang serikat yang baru tampil penuh kemenangan gemilang dari sebuah peperangan dunia? Kini setelah kita tidak perlu menghadapi bahaya maut lagi, tentu saja mudah mengatakan bahwa politik ‘garis keras’ akan lebih efektif daripada politik perundingan,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Mengenang Sjahrir (2013).

Mesir Buka Jalur

Perjuangan Indonesia lewat jalur diplomasi tak mudah. Banyak tantangan dan kendala yang dihadapi untuk mendapatkan pengakuan secara de jure dan de facto. Kehadiran Belanda dan sekutu menutup jalur diplomasi, salah satunya. Indonesia tak menyerah hingga akhirnya perjuangan Indonesia mendapatkan dukungan dari negera lain. Negara pertama yang menyatakan dukungan itu adalah Mesir.

Dukungan itu tak melulu karena alasan agama, tapi juga karena Indonesia dan Mesir sama-sama tak menyukai kolonialisme dan imprealisme di muka bumi. Dukungan dari Mesir itu membuka jalan bagi negara di liga arab lainnya mendukung Indonesia: Irak, Lebanon, Suriah, Yaman, Yordania, dan Arab Saudi.

Delegasi Indonesia di sidang PBB: Sutan Sjahrir, Soedjatmoko, Agus Salim, Sumitro Djojohadikusumo. (Foto: Wikimedia Commons)

“Pada 22 Maret 1947, Mesir mengakui secara de facto kemerdekaan RI. Sebagai upaya mendukung kemerdekaan Indonesia, di Mesir pun segera dibentuk Komite Pembela Kemerdekaan Indonesia, terdiri dari tokoh-tokoh Mesir, Arab, dan Islam, yang diketuai oleh Jenderal Saleh Harb Pasya dengan anggota antara lain pemimpin Ikhwanul Muslimin, Syekh Hasan Al-Banna.”

“Pemerintah Mesir juga bersedia menanggung kehidupan ekonomi warga Indonesia di Mesir setiap bulan sebagai ganti utang yang diputuskan kedutaan Belanda waktu itu. Pemerintah Mesir bermurah hati kepada diplomat dan pelajar Indonesia untuk merayakan hari kemerdekaan nasional pertama di Mesir, dengan menggunakan corong Radio Kairo untuk mengumandangkan lagu Indonesia Raya,” tutup Yudi Latif dalam buku Mata Air Keteladan: Pancasila dalam Perbuatan (2014).