Bagikan:

JAKARTA - Keanekaragaman boneka di Nusantara tiada duanya. Produk imajinasi itu bahkan sudah ada jauh sebelum kolonialisme Belanda datang. Misalnya saja di Batavia (Jakarta). Struktur masyarakat Betawi yang agraris jadi muasal ramainya boneka sawah. Bukan itu saja. Batavia juga memiliki suatu kesenian boneka sakral yang lampau. Barongan namanya.

Barongan atau yang lebih dikenal sebagai ondel-ondel, mulanya punya citra menyeramkan. Penolak bala adalah fungsi utamanya. Karenanya, ondel-ondel dianggap bak spirit doll-nya orang Betawi.

Kedatangan orang Belanda ke Nusantara membawa erat corak budayanya. Mereka rata-rata menganggap kebudayaan kaum bumiputra jauh dari kemajuan. Bahkan, orang Belanda sempat menduga bahwa tiada satupun seniman bumiputra yang datang membuat kerajinan boneka.

Orang Belanda dengan riang gembira memperkenalkan kerajinan boneka yang menyerupai tampilan akurat dari wujud manusia asli. Kebanggaan itu buat orang Belanda laksana pionir. Agen kemajuan, katanya. Namun, pandangan itu tak berdasar.

Sejak dulu kala, kesenian yang serupa boneka sudah di langgengkan di Nusantara. Bukan cuma boneka saja, nenek moyang kaum bumiputra telah membuat wujud manusia dalam bentuk prasasti-prasasti sejak berabad-abad lampau. Karya itu yang kemudian diakui dunia sebagai karya seni tinggi. bahkan dalam boneka wujud sederhana, kaum bumiputra di Batavia acap kali menempatkan boneka sawah untuk menjaga hasil panen.

“Di sana saya memerhatikan bangunan aneh yang kegunaannya dijelaskan kepada saya. Empat bambu ditanam berdekatan satu dengan yang lainnya dan semakin ke atas semakin berjauhan, menopang sebuah gubuk kecil yang terletak 12 atau 15 meter di atas tanah: anak-anak tangga melintang tahap demi tahap pada salah satu dari empat bambu yang membentuk tiang bangunan yang berfungsi sebagai tangga. Di sanalah ketika padi sudah tua, bercokol seorang penjaga, yang benar-benar terlindung dari harimau, macan tutul, dan ular,” kata pelukis Auguste de Molins sebagaimana ditulis Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia & Orang Prancis (2006).

Ondel-ondel zaman dulu (Sumber: Wikimedia Commons)

“Dan bertugas untuk menggerak-gerakkan rangkaian bilah-bilah bambu yang dipasang pada keempat sudut atap dan untuk membuat bunyi yang menakutkan burung-burung yang suka sekali padi. Boneka sawah yang sederhana bergerak pada saat angin sepoi-sepoi yang berembus terus-menerus di daerah itu sehingga baling-baling bambu berputar oleh embusan angin yang menimbulkan bunyi yang mirip dengan dengungan pipa orgen.”

Kemahiran kaum bumiputra dalam membuat boneka juga ditunjukkan dalam ragam acara. Salah satunya saat orang Belanda dan kaum bumiputra tampak bersinergi menghasilkan boneka-boneka miniatur orang-orang di Hindia-Belanda. Dari pejabat hingga jelata. Koleksi 150 boneka itu diperlihatkan langsung kepada ratu Belanda pada tahun 1893.

Boneka-boneka itu dilengkapi dengan rumah-rumahan yang ditempat di dalam kamar anak-anak modern. Koleksi itu kemudian dianggap sebuah mahakarya yang mempertegas keragaman Indonesia. termasuk Aceh dan Sumatra Utara. Semuanya seakan-akan menyiratkan suatu artian, jika kaum bumiputra sudah dapat menyeimbangkan antara etika dan estetika.

“Seperti yang juga dikesankan oleh katalong, koleksi ini dimaksudkan untuk menampilkan gambaran lengkap tentang masyarakat pribumi Hindia. Sejumlah besar kelompok etnis dan lapisan sosial masing-masing memiliki tiruan mini tersendiri. Terdapat beberapa haji di antara boneka-boneka itu, semua berpakaian serba putih. Wajah mereka tampak angkuh.”

“Ada pula boneka-boneka yang menggambarkan hierarki kepegawaian pribumi yang secara regional berbeda. Semua diukir secara hati-hati dan diberi pakaian. Satu set boneka dari Preanger, Jawa Timur, misalnya, memperlihatkan adipati, pejabat pribumi tertinggi bagaikan bangsawan; raden ajoe adipati, istri adipati; patih; mantri; djoeroetoelis, sampai 35 tingkat ke bawah secara berurutan hingga orang tani dan njai tani,” ungkap Rudolf Mrazek dalam bukunya Engineers of Happy Land (2006).

Barongan

Jauh sebelum kehadiran boneka-boneka modern, boneka yang kesohor di tanah Betawi adalah barongan. Kesenian yang langgeng disebut ondel-ondel konon telah hadir sejak abad ke-17. Ondel-ondel dulunya dikenal luas sebagai perwujudan danyang desa (penolak malapetaka). Pun dielu-elukan sebagai boneka perantara roh.

Budayawan Betawi, Masykur Isnan mengamini hal itu. menurutnya zaman dulu boneka raksasa itu lazim digunakan sebagai penolak bala. Ondel-ondel langgengkan untuk mengusir wabah penyakit atau adanya gangguan lainnya. Karenanya, ondel-ondel hadir sebagai bentuk ikhtiar. Pertama, ikhtiar melawan wabah. Kedua, ikhtiar melawan gagal panen.

Itulah mengapa ondel-ondel hadir berpasang-pasangan. Ondel-ondel wanita digadang-gadang sebagai manifestasi Dewi Sri (Dewi keseburan). Masyarakat Betawi percaya kehadiran ondel-ondel wanita dapat membawa kesuburan sawah-sawah sehingga tak gagal panen. Sementara, ondel-ondel laki-laki adalah perwujudan hal buruk. Karenanya ondel-ondel lelaki digambarkan dengan wajah merah menakutkan.

“Dulunya, ondel ondel digambarkan sebagai bentuk durjana atau keburukan yang digambarkan dengan rupanya yang seram dan tidak elok, warna merah dan gigi bertaring menjadi dominan, diarak keliling kampung, lalu dihancurkan sebagai simbol segera sirnanya keburukan.”

“Dalam konteks itu, ondel-ondel dikatakan sakral. Seiring waktu, ondel-ondel pun bertansformasi sebagai bentuk keriaan atau kesenangan, wajah ondel-ondel digubah sedemikian rupa menjadi lebih jenaka dan menghibur,” ucap Masykur Isnan kepada VOI, 3 Januari.

Ondel-ondel masa kini (Sumber foto: Detha Arya Tifada)

Kala itu, ondel-ondel dimainkan tak boleh sembarang. Di zaman dulu, orang yang memainkan ondel-ondel harus menjalankan ritual khusus. Ngukup namanya. Ngukup adalah ritual pembakaran kemenyan oleh pemain ondel-ondel. Semua dilakukan karena ondel-ondel dianggap memiliki kekuatan sakral.

Dalam ritual Ngukup, selain kemenyan ada ragam sesajen lainnya. Dari bubur merah-putih hingga bunga tujuh rupa. Supaya tujuan dari dimainkannya ondel-ondel – baik panen lancar atau melawan wabah—berhasil. Seperti yang dilakukan orang Betawi dalam  mengusir penyakit kolera di Batavia pada tahun 1888. Ondel-ondel jadi ajian ritual pengusiran wabah kolera di Batavia yang telah banyak memakan korban jiwa.

“Ada pula (kaum bumiputra) yang mengadakan ritual massal untuk mengusir penyakit. Dalam sebuah surat kabar berbahasa Melayu yang terbit pada 1888, terdapat berita tentang para tokoh kampung yang mengadakan arak-arakan (ondel-ondel) melewati kawasan tempat orang Indonesia sambil memanjatkan doa.”

“Sementara itu, di kalangan orang China muncul kebiasaan memanggil barongsai untuk berkeliling pecinan jika terdapat ancaman wabah kolera karena mereka percaya bahwa setan penyebar kolera takut pada barongsai,” tulis Susan Blackburn dalam buku Jakarta Sejarah 400 Tahun (2011).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya