Bagikan:

JAKARTA - Nurcholish Madjid dikenal luas sebagai pembaru pemikiran Islam. Jejak pemikirannya melanglang buana dalam ragam medium –dari ruang diskusi mahasiswa hingga Majelis Reboan. Namun, medium itu dirasa tak cukup. Ia dan koleganya menggagas sebuah yayasan. Paramadina namanya.

Yayasan Paramadina bertujuan menyebarkan ide baru Islam perihal keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan pluralisme. Perkembangannya pesat. Bahkan, sampai melahirkan sebuah perguruan tinggi: Universitas Paramadina.

Jalan ninja’ yang diambil Cak Nur –panggilan akrab Nurcholish Madjid-- semasa hidupnya adalah jalur pemikiran. Jalur ini jadi jalannya menatap eksistensi. Karenanya, Cak Nur dikenang sebagai seorang pemikir Muslim yang komprehensif.

Tema-tema Keislaman yang lebih meluas acap kali menjelma sebagai ajiannya. Tema itu antara lain banyak memasuki ranah Aqidah, Tafsir, Fikih, Kalam, Tasawuf, politik, hingga budaya. Luasnya tema yang dikuasai bak bukti, bahwa sudut pandang keilmuan yang dimilikinya beragam. Bukan seragam.

Sudut pandang itulah yang membuatnya meyakini Islam laksana api dalam kehidupan. Islam dapat menjadi solusi berbagai problema kehidupan. Pun banyak lagi. Islam dapat melenggang-langgeng dalam politik, kemodernan, serta kebudayaan.

Ia setia memperjuangkan pemikiran Islam yang modern dan humanis. Sekalipun tak semua pihak dapat menikmati pemikirannya. Alias banyak pula yang berseberangan dengan Cak Nur. Meski begitu, pemikirannya sampai hari ini terbukti andil bagian dalam narasi mencerdaskan anak bangsa.

“Dari sudut pandang keilmuan yang komprehensif dan total inilah Cak Nur kemudian meyakini bahwa Islam secara ilmiah mampu menyelesaikan berbagai problema di Indonesia, baik masalah yang berkaitan dengan hubungan antar dan intra agama, politik, kemodernan, kebudayaan, maupun teknologi komputer yang kini semakin cerdas akibat interaksinya dengan internet. Cak Nur adalah seorang Muslim yang dengan lapang dada melakukan interaksi dan inter-relasi dengan berbagai disiplin ilmu dan kemajuan teknologi tanpa ada rasa takut dan khawatir.”

“Cak Nur juga tampil dengan keislamannya yang terbuka, modern dan berpaham plural, tanpa mendiskreditkan, apalagi mengancam umat lain yang berbeda keimanan. Di tangan Cak Nur, Islam benar-benar tampil sebagai agama yang rahmatan lil-alamin (memberi rahmat bagi sekalian alam) dalam pengertian yang sesungguhnya,” ungkap Muhamad Wahyuni Nafis dalam kata pengantar buku Islam, Doktrin, dan Peradaban (2019).

Kiri::Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Emha Ainun Nadjib, Yusril Ihza Mahendra (Sumber: Wikimedia Commons)

Keaktifan Cak Nur dalam jalur pemikiran membawanya terlibat dalam banyak forum diskusi. Majelis Reboan, salah satunya. Ia dan K.H. Abdurrahman Wahid selalu tampil jadi narasumber forum diskusi itu. Tak jarang pula, selentingan pemikiran untuk meluaskan ide-ide pembaruan Islam dari diskusi muncul dari aktivis forum diskusi. Tujuannya supaya pemikiran Cak Nur dan lainnya dapat awet.

Nyatanya Ide pendirian sebuah yayasan untuk meluaskan ide pembaruan Islam mengemuka. Para aktivis forum diskusi lalu bergerak merealisasikannya. Setelah melalui perjuangan panjang, Yayasan Wakaf Paramadina baru benar-benar hadir pada 1983. Kehadirannya mewadahi banyak aliran pemikiran. Di dalamnya ada perwakilan Nahdlatul Ulama (NU), Pelajar Islam Indonesia (PPI), dan Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Pun kalangan penguasa ada di dalamnya.

“Paramadina dibentuk dengan dasar hukum yayasan, resminya Yayasan Wakaf, yang berarti milik umat, bukan milik eksklusif orang perorangan atau keluarga yang bisa diwariskan turun temurun. Nama Paramadina muncul belakangan dari diskusi para pendiri. Nama itu mengandung dua makna.”

“Pertama, parama, dari bahasa Sansekerta yang berarti prima atau utama (ini usulan dari Nurcholish); dan dina, dari bahasa Arab yang berarti agama (isi usulan dari Utomo Dananjaya). Karena itu pada mulanya ditulis secara terpisah: Parama Dina (Agama Utama). Kedua, para, dari bahasa Spanyol yang berarti untuk, dan madina dari bahasa Arab yang berarti peradaban. Kedua pengertian itu hingga sekarang masih dipertahankan, tidak dipilih salah satunya,” tulis Ahmad Gaus AF dalam buku Api Islam Nurcholish Madjid (2010).

Lahirnya Universitas Paramadina

Universitas Paramadina (Sumber: Linkedin)

Pada masanya, Keberadaan Yayasan Wakaf Paramadina jadi pionir gerakan dakwah perkotaan. Dakwah-dakwahnya yang berbalut ide pembaruan muncul dalam ragam medium. Dari diskusi mahasiswa, pelatihan, hingga masuk dalam dunia penerbitan.

Medium itu jadi jembatan bagi Paramadina menghubungkan ide-idenya kepada masyarakat luas. Apalagi buku-buku yang ditulis oleh Cak Nur sudah dikonsumsi khalayak secara luas. Bukunya banyak mempengaruhi dan dan mengubah pola pikir masyarakat. Lantaran itu, pembaca pemikiran Cak Nur menjadi melihat Islam --sebagaimana Cak Nur melihat Islam—sebagai api kehidupan.

“Dari kondisi di atas itulah yang memunculkan sifat inovatif gerakan dakwah kota. Dan sebagai ikon dari model gerakan dakwah tersebut adalah gerakan dakwah kekotaan yang dimotori oleh Paramadina dengan sifatnya yang khas yaitu kekotaan. Keberadaan Paramadina bisa dijelaskan dengan melihat lengkap sosiologis kemunculan kaum santri menengah kota.”

“Mobilitas mad'u (jamaah) Paramadina yang rata-rata merupakan vertikal kaum santri kota secara kolektif sangat membutuhkan lembaga keagamaan yang bercorak ‘kekotaan’ sesuai dengan struktur baru kehidupan, kecenderungan intelektual, dan budaya mereka. Paramadina sendiri telah berfungsi sebagai jantung kehidupan sebuah komunitas kaum santri köta dalam konteks sosial budaya dan intelektual keislaman,” terang Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni Polah dalam buku Pengantar Sejarah Dakwah (2007).

Perkembangan Yayasan Wakaf Paramadina pesat. Cita-cita meluaskan ide-ide pembaruan makin deras. Sebuah perguruan tinggi jadi target baru Cak Nur dan kawan-kawan. Akhirnya, dua yayasan –Yayasan Wakaf Paramadina dan Yayasan Pondok Mulya—yang berorientasi pada nilai-nilai Islam bekerja sama. Universitas Paramadina-Mulya pun berdiri pada tanggal 10 Januari 1998.

Selaku pendiri, Cak Nur pun merangkap rektor pertama. Tindak-tanduknya sebagai rektor membuat Universitas Paramadina dielu=elukan sebagai laboratorium pengkajian Islam yan modern. Universitas Paramadina langsung mendapatkan hati di khalayak umum.

“Aku rasa apa yang kami lakukan pada tahun 90-an itu merupakan suatu terobosan baru, memperkenalkan kajian Islam kepada masyarakat secara terstruktur, tematik, dialogis, memperkaya dakwah Islam yang sudah berlangsung selama ini. Metode itu sangat cocok untuk kelas menengah kota yang secara ekonomi dan intelektual sudah mapan. Mereka bebas bertanya dan berdiskusi dengan dosen dan dengan sesama peserta. Aku sendiri kadang sebagai dosen, kadang sebagai pendamping narasumber,” tutup Komaruddin Hidayat dalam buku Dari Pesantren Untuk Dunia (2016).

*Baca Informasi lain soal PENDIDIKAN atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya