Suka Duka Memublikasikan Paper aaPRP sebagai Terapi Pendamping COVID-19, Ini Kisah Dr. Karina (Bagian 4)
Dr. Karina. (Foto; Savic Rabos/DI: Raga-VOI)

Bagikan:

JAKARTA – Publikasi hasil penelitian di jurnal ilmiah bagus di mancanegara amat penting dilakukan. Cuma jalan panjang dan berliku harus dilalui sampai akhirnya hasil sebuah penelitian bisa dipublikasikan di jurnal ilmiah yang memiliki reputasi bagus. Dr. Karina dan tim mengisahkan, bagaimana suka dan dukanya menembus jurnal kesehatan kelas dunia untuk paper aaPRP sebagai terapi pendamping COVID-19 dari hasil penelitian yang mereka lakukan.

Seperti dikemukakan sebelumnya terapi aaPRP ini lebih mampu laksana jika dibandingkan dengan stem cell. “Peraturan Menteri Kesehatan tentang penggunaan stem cell dan PRP mirip, masalahnya untuk PRP ini lebih mampu laksana. Ini yang membuat saya bersama tim mengajukan surat kepada Presiden Jokowi, Menkes dan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Apakah bisa dibuat pemerataan untuk seluruh Indonesia,” katanya saat disambangi di Hayandra Lab, Kramat, Jakarta Pusat, beberapa waktu yang lalu.

Tidak semua rumah sakit di daerah punya laboratorium yang canggih, apakah bisa melakukan pemrosesan aaPRP ini? “Inilah sederhananya aaPRP itu. Selain hanya membutuhkan darah pasien sebanyak satu setengah sendok makan, dan itu semua rumah sakit bisa ambil dong. Alat yang dibutuhkan cuma sentrifus yang nyaris semua rumah sakit punya.  Lalu ada kalsium activator yang kami kembangkan di  Hayandra Lab, dan itu suhu ruang. Jadi dengan sangat mudah bisa didistribusikan ke daerah-daerah,” urainya.

Dr. Karina. (Foto; Savic Rabos/DI: Raga-VOI)
Dr. Karina. (Foto; Savic Rabos/DI: Raga-VOI)

Karena itu Dr. Karina miris kalau metode ini tidak atau sampai saat ini belum mendapat tanggapan dari pemerintah. “Jadi saya sangat miris ya, karena metode ini luar biasa sederhana. Tetapi aturannya ternyata yang tidak sederhana,” katanya.

Dia Kembali menekankan untuk alih teknologi aaPRP kepada rumah sakit di daerah bisa memberikan secara cuma-cuma. “Kami bisa membantu  alih teknologinya dan tidak perlu berbayar. Soalnya teknologi ini sudah lazim digunakan dokter ortopedi dan dokter estetik. Jadi hampir semua menurut saya sudah faham bagaimana prosesnya,” tandasnya.

Apalagi biaya yang dibutuhkan untuk pemrosesan aaPRP dengan stem cell itu seperti langit dan bumi. “Jauh sekali bedanya biaya stem cell dengan aaPRP. Biaya stem cell bisa 50 kali lipat biaya aaPRP. Karena membiakkan stem cell itu memang membutuhkan biaya yang mahal banget,” katanya.

Review

Setelah penelitian selesai ujungnya menurut Dr. Karina adalah publikasi. Datanya harus lengkap, statistiknya harus dihitung benar dan ditulis dengan bagus. Lalu dipublikasikan di jurnal medis nasional dan internasional,” katanya.

Dr. Karina. (Foto; Savic Rabos/DI: Raga-VOI)
Dr. Karina. (Foto; Savic Rabos/DI: Raga-VOI)

Menurut Karina, jurnal medis di manca negara ada ratingnya juga, yang bagus dan yang tak punya rating sama sekali. “Uji klinis itu kan sulit dan mahal banget, sayang sekali kalau dipublikasikan di jurnal yang tak berating. Harapan kami banyak yang baca dan ada yang mau melanjutkan penelitian ini dan paper kita disitasi. Kalau sudah begitu rating kita sebagai peneliti juga akan naik dong. Jadi  seorang peneliti itu salah satu targetnya papernya disitasi,” katanya.

Karina dan tim sudah punya pengalaman mengirimkan paper untuk jurnal internasional. Meski begitu dia masih kurang percaya diri untuk memasukkan paper soal aaPRP ini di jurnal yang paling tinggi atau dalam istilahnya rating Q1. Akhirnya mereka memasukkan di jurnal Q2.

“Ternyata memasukkan paper ke jurnal kalau sudah submited reaksi reviewernya macam-macam soal paper aaPRP. Ada yang langsung menolak dan ada yang begini; ini kan  dari plasma orang lain kan? Di negara sudah dilarang. Wah ini reviewernya engga faham, kami ketawa saja. Ini jelas dari diri sendiri, dari darah pasien sendiri,” ungkap Karina yang sudah lebih dari 30 papernya di  muat di jurnal internasional.

Ada juga pengalaman lain soal paper yang dikirim ke jurnal lain. “Mereka terima tapi langsung revisi. Biasanya kalau direvisi setelah itu diterima. Eh ternyata reviewernya masih belum mengerti  juga.  Akhirnya kami ambil kesimpulan mungkin saja reviewernya sulit mengerti karena penelitian serupa belum pernah ada sebelumnya. Kami ini yang pertama meneliti dan melaporkan bahwa aaPRP ini bisa untuk menjadi terapi mendampingi COVID-19,” papar Dr. Karina.