Bagikan:

JAKARTA – Pandemi COVID-19 masih menjadi momok seluruh dunia. Apalagi virus ini berkembang  menjadi bermacam-macam varian; Alfa, Beta, Delta, Gamma, Lambda, Kappa dan sebagainya. Sebagai tenaga kesehatan, Dr. Karina prihatin dengan keadaan ini, apalagi sahabat baiknya yang juga dokter spesialis, harus meregang nyawa karena virus ini. Inilah awal mula dia tercetus ide menggunakan PRP (platelet-rich plasma) untuk pasien COVID-19. 

Sebagai dokter spesialis bedah plastik, rekonstruksi dan estetik dia memang tidak menangani pasien COVID-19. Dia makin penasaran apa yang menjadi penyebab begitu dahsyatnya virus ini menyerang, bagaimana penanganan penyakit ini di salah satu  rumah sakit dan lain sebagainya. Akhirnya ia mencoba mencetuskan ide menggunakan PRP yang sering digunakannya sebagai dokter untuk terapi pendamping untuk pasien COVID-19 selain terapi utama yang diterapkan selama ini.

Mulai edisi ini kami akan menampilkan tulisan bersambung hasil wawancara khusus dengan Dr. Karina. Dengan latar belakang ilmu dan pengalaman praktik selama ini,  ia mengusulkan penggunaan metode PRP yang sudah lazim digunakan dalam bidang kedokteran ortopedi dan kecantikan untuk  terapi pendamping pasien COVID-19. Metodenya dia beri nama aaPRP (activated autologos Platelet-Rich Plasma).

Dr. Karina. (Foto; Savic Rabos/Di: Raga-VOI)
Dr. Karina. (Foto; Savic Rabos/Di: Raga-VOI)

Lalu, seperti apa penggunaan metode aaPRP ini? Begini penjelasan Dr. dr. Karina, SpBP-RE. “Penggunaan PRP untuk kedokteran memang sudah lazim. Dokter kecantikan dan dokter ortopedi yang paling sering menggunakannya. Namun untuk terapi pendamping bagi pasien COVID-19 ini yang baru pertama kali digunakan. Soalnya selama ini belum ada yang melaporkan penerapan terapi ini,” katanya.

Bagaimana awalnya alumni Universitas Indonesia ini punya ide untuk menggunakan aaPRP sebagai terapi pendamping pasien COVID-19? Ternyata semuanya tercetus saat mengobrol makan siang dengan rekannya yang dokter Anastesi di RSUD Koja Jakarta Utara. “Saya mencetuskan ide ini sebenarnya secara tidak sengaja. Pemicunya saat ada teman saya yang dokter spesialis penyakit dalam yang harus berpulang karena terpapar COVID-19. Kemudian saya berkomunikasi dengan kolega saya juga yang dokter dan bertugas di RSUD Koja Jakarta Utara. Dari perbincangan dengan dia saya mengusulkan  ide untuk menggunakan metode PRP sebagai terapi pendamping bagi pasien COVID-19,” begitu Dr.  Karina berkisah saat  ditemui di Klinik Hayandra, Kramat Jakarta Pusat, belum lama berselang.

Ide ini tak serta merta diiyakan oleh kolega Dr. Karina tersebut. Sebagai seorang dokter yang kritis, dia mempertanyakan apakah ada literatur pendukung soal terapi pendamping ini. “Saat itu juga saya cari di internet, ternyata tidak ada. Karena memang belum ada yang mencoba dan melakukan untuk terapi pada pasien COVID-19. Sehingga laporan medik di jurnal ilmiah juga tidak ada,” katanya.

PRP itu kata Dr. Karina mengandung tiga  faktor utama; anti-radang, faktor pertumbuhan dan anti-bakteri. Tiga faktor ini amat dibutuhkan oleh pasien COVID-19. “Waktu saya menyelesaikan disertasi, penelitian saya menggunakan PRP untuk memperbaiki kerja stem cell pada pasien diabetes. Dan itu terbukti bisa memperbaiki kerja stem cell,” katanya.

Yang Baru

Kalau penggunaan PRP sudah lumrah di kalangan kedokteran utamanya dokter ortopedi dan dokter estetik, dan sudah banyak orang yang merasakan manfaatnya, lalu apa yang baru dari aaPRP ini? “Belum ada yang mencoba menggunakan PRP ini untuk membantu pasien COVID-19. Kami adalah yang pertama yang melakukannya. Jadi yang baru adalah indikasi penggunaan PRP untuk membantu pasien COVID-19. Kami menyebutnya dengan aaPRP,” katanya.

Dr. Karina. (Foto; Savic Rabos/Di: Raga-VOI)
Dr. Karina. (Foto; Savic Rabos/Di: Raga-VOI)

Dari koleganya yang dokter Anastesi di RS Koja itulah Karina mendapat banyak informasi soal COVID-19. “Dia bilang pasien COVID-19 di RS Koja banyak sekali yang meninggal dunia. Saya tanya apakah sudah obat? Jawabnya tidak. Ternyata penyebab meninggalnya pasien di sana karena badai sitokin. Yaitu radang atau inflamasi di tubuh pasien COVID-19. Karena saya punya pengetahun dasar soal peradangan lantas spontan bilang, kalau radang ya dikasih anti-radang dong,” katanya.

Ternyata, masih kata Karina, koleganya itu juga sudah memberikan anti-radang kepada pasiennya karena itu adalah protokol nasional penangangan pasien COVID-19. “Setelah saya tanya  berapa dosis yang diberikan ternyata menurut saya itu sudah kebanyakan. Saya lalu mengusulkan PRP sebagai anti-radang,” lanjutnya.

Singkat cerita Dr. Karina dan koleganya sepakat menguji coba PRP untuk pasien COVID-19 setelah mendapatkan izin dari direktur rumah sakit dan untuk uji klinik dan uji etik dari FK UI. “Sesuai aturan dari FK UI kami melibatkan 10 pasien untuk uji klinik fase satu. Dan hasilnya ternyata aman,” ungkapnya.

Setelah itu sembari menyiapkan uji klinik fase dua, Karina dan tim melakukan publikasi atas hasil pengujian aaPRP menjadi terapi pendamping  COVID-19.  “Fase kedua dengan 20 pasien dan hasilnya menjanjikan. Dan kami publikasikan juga,” katanya.

Jadi, apa yang dilakukan Dr Karina dengan menggunakan aaPRP menjadi terapi pendamping sampai saat tulisan ini ternyata bisa digunakan untuk menjadi terapi pendamping bagi COVID-19.

Dalam metode aaPRP ini darah pasien diambil satu setengah sedok makan. Setelah diproses di laboratorium. Darah pasien dikembalikan lagi ke tubuh pasien COVID-19 yang bersangkutan melalui infus. “Kami hanya mengambil satu setengah sendok makan darah, jadi enggak banyak. Dan proses pengambilan dari sampai dikembalikan lagi sekitar satu setengah jam,” kata Dr. Karina.