Eksklusif Christine Hakim Membangkitkan Semangat Kebangsaan Lewat Film <i>Tjoet Nja’ Dhien</i>
Christine Hakim (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Memperingati hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2021, Film Tjoet Nja' Dhien diputar ulang di bioskop Tanah Air. Film garapan Eros Djarot pada tahun 1988 ini telah direstorasi menjadi digital. Sebagai pemeran utama, Christine Hakim menyambut gembira penayangan film ini. 

Dimulai dari Jakarta, pemutaran salah  satu film lagendaris Indonesia itu akan direncanakan juga tayang di Surabaya, Semarang, Makassar, Medan dan sebagainya. 

Menurut Christine, film yang diedarkan tahun 1988 itu, atau 33 tahun silam, kini sudah mengalami restorasi menyeluruh di Belanda.  Format pita celuloid sudah ditransformasi ke DCP, sehingga gambar lebih jernih dan detail warna juga semakin tajam.

"Alhamdulillah. Tidak ada satu helai daun pun jatuh ke bumi tanpa izin Tuhan. Dan atas izin Tuhan, masyarakat bisa nonton kembali film Tjoet Nja' Dien di bioskop dengan kualitas yang tetap bagus setelah restorasi. Itu nikmat luar biasa yang harus saya syukuri. Mudah-mudahan akan memberikan manfaat juga," ujar Christine Hakim saat ditemui VOI di kawasan Cibubur, 6 Mei. 

Christine Hakim (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Peran Christine dalam upaya restorasi film Tjoet Nya’ Dhien ternyata sangat besar. Produser dan Sutradara memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengurus semua proses restorasi di Belanda. 

"Karena setelah Mas Eros tidak lagi aktif di film, Tjoet Nya’ Dhien diserahkan kepada saya. Ada sahabat kami dari Belanda yang punya yayasan menawarkan kita untuk merestorasi Tjoet Nya’ Dhien. Wah kenapa tidak? orang mau dirawat istilahnya. Tentunya kita sangat menyambut baik," paparnya. 

Biaya restorasi film seluloid menjadi digital tidaklah murah. Butuh ketelatenan dan dukungan laboratorium yang canggih. Sebagai gambaran, film Lewat Djam Malam direstorasi di laboratorium film di Italia. Perlu waktu sekitar dua tahun dan biaya sekitar Rp1,5 miliar hingga film ini bisa direstorasi menjadi digital.

Lantas bagaimana dengan film Tjoet Nya’ Dhien? "Alhamdulilah, biaya semua dicarikan yayasan teman di Belanda. Kami bersyukur bahwa ada berita yang baik dari pihak Belanda dan laboratorium menerima film ini," kata Christine. 

Adanya semangat restorasi Tjoet Nya’ Dhien menunjukkan film yang meraih delapan (8) Piala Citra itu memang memiliki nilai tinggi. "Ternyata film Tjoet Nya’ Dhien valuable. Bukan cuma nilai komersilnya, tapi ada nilai-nilai yang ada dalam film itu yang dilihat sehingga bersedia melakukan restorasi," katanya. 

Christine Hakim (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Christine juga mengakui film Tjoet Nya’ Dhien memiliki nilai diri yang sangat kuat bagi pribadi dan karirnya. "Film ini merupakan kenangan yang penuh arti dalam hidup saya. Karena jujur saja sebelum saya terlibat untuk menjadi Tjoet Nya’ Dhien, waktu itu usia saya 28 tahun. Sebelum itu, sebagai remaja saya mengalami krisis identitas," kenangnya. 

Terlahir dari latar belakang keluarga campuran budaya, Christine selalu mempertanyakan sebenarnya dari mana asalnya. Tumbuh di Jakarta dan tidak memiliki tempat mudik, juga menjadi sumber pertanyaan tentang jati dirinya. 

"Saya suka iri kalau ada teman yang cerita pulang kampung. Saya nggak punya kampung. Tjoet Nya’ Dhien merupakan langkah awal saya menapak saya untuk mencari nenek moyang saya. Saya bersyukur karena membuat film sejarah, Tuhan kemudian merekonstruksi pemikiran saya tentang siapa saya," katanya. 

Memerankan tokoh yang benar-benar pernah hidup di zamannya. Data-data sejarahnya sangat minim karena Tjoet Nya’ Dhien tak pernah mau bekerja sama dengan Belanda. Sehingga sejarah tertulis yang ada hanya dari sudut pandang Belanda. 

"Menurut saya belum cukup sejarah tertulis itu. Kenapa perempuan pada saat itu kuat sekali agamanya sebagai muslimah mau berjuang gerilya, meninggalkan semua kemewahan dan masuk hutan. Ini yang ingin saya gali lebih dalam. Kemana saya harus gali? Anak keturunan Tjoet Nya’ Dhien sudah tidak ada lagi," katanya.

Christine Hakim yakin meskipun sudah tiada, roh Tjoet Nya’ Dhien tetap dalam kuasa Tuhan. "Maka, saya harus berkonsultasi yang menciptakan Tjoet Nya’ Dhien dan saya juga. Saya minta izin supaya saya bisa merasakan, berfikir, memahami, apa yang dirasakan oleh Tjoet Nya’ Dhien," paparnya. 

"Saya tahajud, bangun malam, dan hampir setiap malam saya lakukan. Jadi saya mendapat pembelajaran hidup yang luar biasa. Sekaligus pemahanan saya sebagai hamba Tuhan," lanjut Christine Hakim.

Christine Hakim (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Penayangan ulang Tjoet Nya’ Dhien di bioskop, menurut Christine Hakim memiliki fungsi strategis untuk membangkitkan semangat kebangkitan nasional terutama bagi generasi muda. 

"Kenapa film ini penting bagi mereka? Karena manfaat yang saya rasakan, saya ingin anak muda juga bisa rasakan. Saya yang tidak paham sejarah jadi paham bagaimana nenek moyang saya memperjuangkan kemerdekaan atas izin Tuhan," katanya.

Tjoet Nya’ Dhien, lanjut Christine, hanya salah satu contoh perjuangan pahlawan di Indonesia. "Tjoet Nya’ Dhien dan pahlawan-pahlawan lainnya dari Sabang sampai Merauke, berapa banyak nenek moyang yang berjuang menghabiskan jiwa, raga, harta, perasaan, dan jiwanya agar anak cucuk bisa hidup lebih baik dengan kemerdekaan. Ini penting untuk diketahui agar kita juga jadi tahu kita ini bangsa yang seperti apa," katanya.

Film Tjoet Nya’ Dhien adalah bantahan nyata atas image bangsa kita yang bodoh seperti gambaran yang dituliskan para penjajah. "Kalau kita bangsa yang bodoh nggak bisa bikin Borobudur. Bahkan sebelum VOC masuk sudah ada. Kita bisa tahu berapa banyak kerajaan dan kesultanan yang kemudian bergabung menjadi NKRI. Itu skenario Tuhan yang luar biasa," tegasnya. 

Christine Hakim (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Membicarakan film sejarah Tjoet Nya’ Dhien seakan tak ada habisnya. Penayangan film ini pada tahun 1988 sudah mencatatkan sejarah dengan 8 piala citra. Lantas tahun 1989 film ini menjadi film Indonesia pertama yang ditayangkan di Cannes Film Festival. 

Film sejarah yang mencetak sejarah, mungkin kata-kata ini paling tepat untuk disematkan. "Itu luar biasa. Jadi tidak mudah film biopic seperti ini diputar di sebuah film festival. Tapi Tjoet Nya’ Dhien dipilih," kenangnya.

Untuk menyesuaikan durasi, maka sutradara Eras Djarot pun mengedit ulang buat pemutaran di Cannes Film Festival. "Yang diputar di bioskop pada tahun 1988 itu durasinya 2 jam 15 menit. Di Cannes Film Festival harus dikurasi durasinya menjadi 1 jam 48 menit," katanya. Durasi baru inilah yang kemudian direstorasi dan tayang kembali di bioskop saat ini. 

Christine pun hadir di pemutaran film Tjoet Nya’ Dhien di Cannes Film Festival. "Semua yang punya andil besar bagi film ini punya ikut berangkat ke Cannes Film Festival. Jelas ini memberikan pembelajaran buat kita, bagaimana kita menjadikan film Indonesia menjadi duta buat bangsanya di luar negeri," jelasnya.

Christine Hakim (Foto: Savic Rabos, DI: Raga/VOI)

Film, menurut Christine, untuk menjadi salah satu cara memperkenalkan sejarah kita kepada genarsi muda. "Sangat penting kita membuat film sejarah. Karena ini seperti napak tilas buat kita. Jangankan dalam hidup bernegara, dalam menjalani keyakinan kita aja kita perlu napak tilas. Sehingga kita tahu siapa diri kita," terangnya.

"Bahaya sekali kalau kita tidak mengenal diri sendiri, lalu bagaimana kita bisa punya jati diri kita? Sebagai anak aja kita harus mengenal orangtua, nenek kita, nenek moyang kita. Sebagai bangsa, bagaimana kita bisa mengenal bangsa kita kalau kita enggak napak tilas sejarah peradaban bangsa Indonesia. Pendekatannya bisa macam-macam cara, salah satunya lewat film," tegasnya. 

Wanita kelahiran 25 Desember 1956 bersyukur ketika restorasi Tjoet Nya’ Dhien dilakukan banyak bantuan yang didapatkan secara cuma-cuma. "Joko Anwar memberi gagasan untuk membuat poster ulangnya. Viva Westi menjadikan cafe-nya untuk base camp meeting kita. Kemarin juga menemani saya membuat subtitle bahasa Indonesia. Publikasi juga dibantu teman wartawan saya bersyukur sekali," katanya. 

Seolah semesta mendukung, saat Tjoet Nya’ Dhien versi digital siap tayang, jaringan bioskop XXI juga memberi ruang sebesar-besarnya untuk penayangan film ini. "Spiritnya sama persis seperti dulu waktu membuat film ini. Itu semua atas izin Tuhan. Keterlibatan teman-teman yang tidak terlibat dalam film, secara spontan dan ikhlas ini saya syukuri," jelasnya.

Awalnya, film Tjoet Nya’ Dhien akan diputar saat libur lebaran. Namun, akhirnya mundur satu minggu setelah lebaran. "Ini nggak nyangka pas banget dengan momen peringatan kebangkitan nasional. Penting juga untuk menggairahkan penonton kembali ke bioskop. Alangkah idealnya penonton  bisa menikmati film yang tidak hanya sekedar hiburan," ucapnya.