JAKARTA - Depresi pascapersalinan atau postpartum depression merupakan salah satu gangguan kesehatan mental yang signifikan, dengan dampak serius terhadap ibu maupun anak.
Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa prevalensi gangguan ini meningkat hampir dua kali lipat dalam satu dekade terakhir di Amerika Serikat.
Penelitian tersebut, yang dipublikasikan oleh Medical Daily, mengevaluasi tren diagnosis depresi pascapersalinan berdasarkan faktor ras, etnis, dan indeks massa tubuh (BMI) sebelum kehamilan. Data yang dianalisis mencakup 442.308 kelahiran di Amerika Serikat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi depresi pascapersalinan meningkat tajam, dari 9,4% pada tahun 2010 menjadi 19 persen pada tahun 2021. Kenaikan ini lebih mencolok pada kelompok dengan BMI pra-kehamilan yang lebih tinggi.
Gangguan kesehatan mental ini dapat mengurangi kedekatan emosional antara ibu dan anak, menurunkan angka keberhasilan menyusui, serta meningkatkan risiko keterlambatan perkembangan pada anak. Dalam kasus yang ekstrem, depresi pascapersalinan yang tidak ditangani bisa memicu tindakan bunuh diri atau kekerasan terhadap bayi.
Studi yang diterbitkan di JAMA Network Open juga menyoroti bahwa peningkatan prevalensi terjadi di seluruh kelompok ras, etnis, dan kategori BMI selama dekade terakhir. Selain peningkatan kesadaran dan skrining yang mungkin berkontribusi terhadap tingginya angka diagnosis, para peneliti juga mencurigai adanya kaitan dengan meningkatnya angka obesitas.
Pada tahun 2021, data menunjukkan prevalensi depresi pascapersalinan sebesar 17 persen di antara ibu dengan BMI normal, 19,8 persen pada mereka dengan berat badan berlebih, 21,2 persen pada ibu dengan obesitas ringan, dan 24,2 persen pada ibu dengan obesitas berat.
BACA JUGA:
“Penelitian ini menyoroti pentingnya pemantauan berkelanjutan terhadap tren peningkatan depresi pascapersalinan. Dengan memahami pola prevalensi dan faktor demografi serta klinis yang terkait, temuan ini dapat memberikan panduan penting untuk inisiatif kesehatan masyarakat di masa depan, guna meningkatkan kesehatan mental perinatal dan kesejahteraan ibu dan anak,” tulis peneliti, seperti dikutip Antara.
Dalam analisis terkait usia, ras, dan BMI, ditemukan bahwa ibu dengan usia lebih lanjut, mereka yang berasal dari ras kulit putih non-Hispanik atau kulit hitam non-Hispanik, memiliki riwayat penyalahgunaan zat selama kehamilan, atau memiliki BMI tinggi sebelum kehamilan cenderung memiliki risiko lebih besar mengalami depresi pascapersalinan.
Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menekankan perlunya intervensi khusus untuk kelompok berisiko tinggi. Sementara itu, menurut data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), gejala depresi pascapersalinan sempat menurun dari 15 persen pada tahun 2004 menjadi 10 persen pada tahun 2012.
Namun, laporan ini tidak mencakup data dari California dan hanya berdasarkan laporan mandiri, bukan diagnosis medis resmi.