Bagikan:

JAKARTA - Tsania Marwa berhasil menyelesaikan pendidikan S-2 di Universitas Tarumanegara, Jakarta dan diwisuda menjadi Psikolog Klinis pada bulan Oktober ini. Bukan perkara mudah baginya untuk menyelesaikan pendidikan S2 selama 3 tahun terakhir.

Di tengah gejolak batin yang tak bisa mengasuh langsung dua buah hatinya, Tsania menjadikan lara hatinya sebagai objek penelitian untuk tesisnya. Diketahui anak-anaknya bersama dengan mantan suaminya, Atalarik Syah. Tsania sebenarnya memenangkan hak asuh justru tidak bisa bertemu dengan kedua anaknya.

Ia memperjuangkan pertemuan dengan anaknya setelah memenangkan hak asuh anak tapi tidak bisa bertemu dengan dua buah hatinya. Pergolakan batin itu lantas diwujudkan dalam tesis berjudul “Peran Separation Anxiety sebagai Mediator pada Hubungan antara Psychological Distress dan Insomnia pada Orang Tua yang Tidak Mendapatkan Hak Asuh Anak akibat Perceraian".

"Senang banget ya, karena aku nih ngambil S2 totalnya itu selama 3 tahun. Jadi memang perjuangan 3 tahun itu akhirnya terbayar dengan dinyatakan lulus dan layak sebagai seorang psikolog klinis yang insya Allah nanti tanggal 20 Oktober baru akan di wisuda," ujar Tsania Marwa saat berbincang eksklusif dengan VOI di kediamannya di Jakarta Barat, beberapa waktu lalu.

Tsania Marwa (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

Banyak yang berpendapat, anak adalah korban dari perpisahan orang tua. Namun, Tsania mengajukan tesis bahwa orang tua alias orang dewasa juga bisa menjadi korban. Namun, masih sedikit yang peduli dengan hal tersebut.

"Dalam tesis aku ini, aku menggunakan 3 variabel. Yang pertama separation anxiety, psychological distress, sama insomnia. Nah, terus subjeknya itu adalah orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh anak. Jadi, otomatis orang tua tersebut tidak bisa hidup bersama anaknya. Nah, ketika seseorang itu tidak bisa hidup dengan figur melekatnya, bisa itu pasangan, bisa itu anak, gitu kan. Atau salah satu anggota keluarga, itu akan bisa menimbulkan dampak kecemasan akan keterpisahan. Kan bahasa Indonesia itu separation anxiety, kecemasan akan keterpisahan. Dan itu kalau tadi pertanyaan yang mungkin dialami oleh orang dewasa, jawabannya sangat mungkin justru lebih banyak di orang dewasa," tegasnya.

Ketika mengumumkan kelulusan sidang dengan tesis yang berkaitan dengan persoalan pribadinya, warganet pun penasaran apakah Tsania menjadikan dirinya sendiri sebagai subjek penelitian.

"Mungkin gini, aku jelasin sedikit dulu latar belakangnya ya. Kalau misalnya kita menulis kisah hidup kita sendiri yang nulis, itu namanya autobiografi. Kalau kisah hidup kita ditulis oleh orang, namanya biografi," terangnya.

Tsania Marwa (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

"Terus kalau tesis itu adalah penulisan yang 100% sifatnya ilmiah. Jadi, setiap kalimat yang ada dalam tesis aku, yang kurang lebih itu halamannya 150-an, setiap kalimat yang ada di situ itu bisa dipastikan sifatnya ilmiah dalam artian merupakan hasil penelitian dari tulisan ilmiah sebelumnya. Dan itu yang menjadi dasar penulisan tesis aku. Jadi, sama sekali tidak ada kisah hidup aku pribadi yang aku tuangkan dalam tesis, tidak ada. Tetapi, apakah kisah hidup aku itu menjadi inspirasi aku dalam menentukan judul tesis dan variabel yang aku pilih? Jawaban nya iya. Tapi sampai di situ saja, dalam proses penulisan, itu 100% sudah data yang berbicara," katanya.

Sebagaimana karya ilmiah lainnya, Tsania harus melakukan penelitian yang terstuktur dan terarah. Data tidak bisa sembaran diambil untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya.

"Karena aku menggunakan metodenya kan kuantitatif. Artinya, aku mengambil banyak partisipan, dan data yang aku ambil itu aku sebar dengan G-form. Karena ini sifatnya cukup spesifik. Aku menemukan orang tua yang tidak bisa mendapatkan hak asuh anak. Itu sebenarnya susah-susah gampang," kenang Tsania.

Awalnya, dosen Tsania Marwa merasa tidak yakin bisa mendapatkan data yang cukup di atas 50 orang sebagaimana persyaratan penelitian. Namun, ternyata masalah yanh dihadapi Tsania banyak yang menyerupai.

"Jadi ketika aku ajukan judul ini ke dosen aku, dosen aku juga, ‘kamu yakin nih bisa mendapatkan cukup data untuk dijadikan kuantitatif?’. Karena kan untuk menjadi satu data kuantitatif kan datanya tidak bisa cuma 5 orang, 10 orang. Kita ngomongnya itu sudah di atas 50. ‘Kamu yakin tidak bisa nemuin?’ Terus aku jawab, ‘yakin Bu’. Karena orang hampir setiap hari mengirimkan DM ke Instagram aku yang menyatakan kalau mereka juga mengalami apa yang aku alami. Yaitu dipisahkan oleh anaknya," jelas wanita kelahiran 5 April 1991 ini.

"Jadi aku minta izin sama dosen aku, ‘Bu izin saya minta G-Form’, tentunya yang sudah ada inform konsen. Jadi tetap menjaga kode etik. Akhirnya saya sebar luas. Tetap saya menggunakan kekuasaan media sosial. Saya bikin video di TikTok. ‘Halo guys, buat kalian yang mengalami gini-gini, isi G-Form ya, gini-gini’," jelasnya.

107 partisipan akhirnya dengan sukarela bergabung dalam penelitian tersebut. Namun hanya 76 yang mengisi data dengan benar dan valid sehingga bisa digunakan untuk penelitian.

"Jadi tesis aku itu isinya 76 subjek, partisipan, yang lucunya 80% lebih perempuan. Hasilnya gitu. Jadi laki-laki itu memang minim sekali. Nah dari situ, jadi 76 partisipan ini yang menjawab data yang akhirnya menjadi tesis. Jadi bukan aku. Jadi aku tegaskan, aku tidak termasuk dalam 76 orang itu," tegasnya.

Mengikuti kode etik penelitian ilmiah, partisipan dengan data lengkap itu harus dijaga kerahasiaannya. Tsania bisa membuktikan bahwa penelitiannya tidak bersifat pribadi, namun datanya disimpan dengan rapi.

"76 orang itu menunjukkan bahwa ketika kita dipisahkan oleh anak, itu memang menyebabkan depression anxiety, insomnia, dan juga psychological distress," katanya.

Perjuangan Menyelesaikan Penelitian

Tsania Marwa (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

Ketika membuat penelitian ini, Tsania berangkat dari kegelisahan bahwa di Indonesia ini tidak ada hukum yang melindungi hak asuh anak. "Jadi itu urgency-nya, dan fenomena perceraian di Indonesia itu setiap tahun meningkat," katanya.

Rupanya kegelisahan itu juga berdampak sama kamu secara mental. Perpisahan dengan kedua anaknya membuat Tsania kena mental.

"Jelas. Kayaknya kalau aku bilang nggak menyebabkan dampak mental ke aku itu satu kebohongan ya. Jelas. Kalau dibilang ada dampak, 100% ada. Tapi balik lagi bagaimana kita meregulasi emosi dan kita mengontrol diri kita, agar dampak psikologis yang aku dapatkan itu tidak sampai merusak mental aku sendiri. Dan menghambat proses pekerjaan, proses pendidikan, seperti itu," paparnya.

Beruntungnya, Tsania belajar psikologi sehingga tahu cara terapi-terapi yang bisa diterapkan ke diri sendiri untuk menghadapi trauma. "Ada momen-momen yang mengerikan kita secara gak sadar aku tau cara menghandle-nya lah Insya Allah gitu, jadi itu semua pilihan kita hidup kok kita mau fokus ke trauma apa kita mau fokus ke hal-hal yang positif dan aku memilih untuk fokus yang ke hal positif aja," katanya.

Tsania Marwa kini bisa tenang bahkan legowo menerima anak-anaknya dipisahkan darinya. Dia yakin menjaga kesehatan jiwa dan raganya penting untuk menjaga anak-anaknya kelak.

Tsania Marwa (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

"Self aware tuh mahal sekali loh buat kita aware untuk oh kayaknya gue udah mau burn out nih kayaknya kita udah nggak sanggup kita step back dulu, meet time dulu, benahin mental, kasih makan mental yang dikasih makan mental yang dikasih makan itu bukan hanya perut tapi jiwa juga perlu dikasih makan itu betul," katanya.

"Kalau dibilang kenapa sekalem ini mungkin badai yang aku lalui juga besar banget, ya kan. Kalau kita sudah terbiasa dengan suara yang besar ketika kita denger suara yang tidak terlalu besar, kita kan gak ada respon aja gitu. Tapi aku bisa sampai tahap ini tuh perjalanannya panjang dan pedih sekali, iya itu pedih sekali. Banyak juga kok momen-momen dimana aku terlihat lemah itu ada banyak aku diwawancara dan aku menangis, aku masih menunjukkan perasaan-perasaan aku yang seperti itu, itu pasti ada tahapnya, cuman at the end of the day, kita yang bisa membenarkan dan membenahi diri kita sendiri," katanya.

Baginya, mengenali diri sendiri lebih dalam dan aware dengan sinyal-sinyal yang udah dikasih oleh diri penting dilakukan. "Contoh kasih makan yang mental itu sebenarnya hal-hal simple kayak kita ngelakuin hobi kita yang bisa bikin kita happy mungkin sekedar me time, nonton film nyanyi tapi ternyata dampaknya itu besar sekali," sarannya.

Tsania Marwa tak menampik persoalan yang dihadapi saat ini berhubungan dengan fakta seorang Tsania Marwa menikah di usia yang kita bilang cukup muda 21 tahun.

"Pasti berhubungan ya, karena itu adalah satu timeline kehidupan yang aku gak bisa putus gitu, mungkin kalau aku 21 tahun tidak menikah muda, di umur aku yang sekarang 33 tahun ya mungkin aku beda lagi, pemikirannya beda lagi gitu, kematangannya beda lagi gitu. Jadi kalau dibilang ada atau tidak pasti jawabannya ada, dan itu merupakan satu sejarah kehidupan yang sudah menjadi takdir aku dan sekarang tugas aku adalah menyusun kedepannya seperti apa," paparnya.

Tsania Marwa (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

Takdir kehidupan Tsania Marwa sebagai pemain sinetron kini telah berubah menjadi seorang psikolog klinis. Tsania berhasil mengubah luka menjadi inspirasi.

Buktinya, Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengumumkan bahwa setiap orang yang mengambil anak secara paksa di luar kuasanya atau bukan pemegang hak asuh anak, akan mendapatkan tindak pidana berupa penjara atau denda.

"akhirnya Mahkamah Konstitusi berani menyatakan suatu fatwa hukum yang tegas dan jelas bahwa orang tua yang mengambil anak secara paksa dan di luar kekuasaannya (bukan pemegang hak asuh) dapat dipidana dengan pasal 330 KUHP,” ujar Tsania.

“Kalau memang air mata dan kepedihan selama 7 tahun 6 bulan yang saya alami membawa hikmah sebesar ini, saya ikhlas... Semoga hasil ini bisa menjadi pertolongan untuk ribuan atau lebih Ibu-Ibu yang mengalami seperti saya... This is it! Allahuakbar,” tegas Tsania.