Bagikan:

YOGYAKARTA – Orang dengan stres tinggi dan tidak dikelola dengan baik, rentan mengalami penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya. Temuan ini bukan tak beralasan, karena seorang dokter penyakit dalam dan psikiater serta peneliti Roland von Känel, MD. menunjukkan temuannya yang bisa jadi motivasi untuk segera mempraktikkan cara mengelola stres.

Temuan von Känel, stres berdampak pada penggumpalan darah. Tentu Anda penasaran, bagaimana bisa ranah pikiran memengaruhi laju aliran sungai merah yang mengalir dalam pembuluh tubuh tersebut? Kekentalan darah, bisa berubah-ubah sesuai kondisi dan fungsinya.

Faktor yang berkontribusi dalam menjaga kekentalan darah memengaruhi bagaimana ketercukupan nutrisi dalam sel, pembuangan limbah, dan penyembuhan luka. Pada kondisi tertentu, darah akan mengental tetapi kadang juga lebih encer karena faktor lainnya. Tubuh begitu pandai dalam menyesuaikan kondisi, yaitu dengan mengubah tingkat kekentalan darah. Artinya, darah kental tidak selalu buruk tetapi hanya perlu diwaspadai kapan menjadi rentan.

stres berdampak pada penggumpalan darah
Ilustrasi stres berdampak pada penggumpalan darah (Freepik/jcomp)

Keseimbangan kekentalan dan keenceran darah cukup rumit. Tetapi melansir Psychology Today, Senin, 7 Oktober, saat stres meningkat keseimbangan bergeser ke arah pembentukan gumpalan di lokasi cedera. Salah satu mekanisme sistem respons stres, adalah melalui hormon stres seperti epinefrin dan kortisol. Dua hormon ini menignkatkan pelepasan protein yang memfasilitasi koagulasi. Koagulasi adalah proses pembekuan darah yang meningkat saat pelepasan protein menurun sehingga terjadi lisis gumpalan. Hormon stres juga meningkatkan pelepasan dan kelengketan prombosit, yang membentuk serat gumpalan.

Saat darah mengental terlalu sering, menurut ulasan von Känel, bisa berisiko terkena penyakit jantung dan mengalami masalah serius terkait dengan pembekuan darah. Serangan jantung, stroke, kram otot saat berolahraga, emboli paru, dan trombosis vena dalam adalah peristiwa pembekuan besar yang lebih sering terjadi dengan stres akut atau kronis pada orang dengan penyakit jantung.

Perilaku yang berkontribusi terhadap risiko di atas meliputi ketidakaktifan fisik, gangguan tidur, makan berlebihan dan obesitas, merokok, dan minum minuman beralkohol. Semua perilaku dan kondisi tersebut mendorong aktivitas simpatik berlebihan dalam sistem saraf otonom dan kadar hormon stres yang lebih tinggi.

Stres kronis mengentalkan darah, dan stres akut lebih mungkin mengkristalkan bekuan darah. Sayangnya penelitian ini tidak menunjukkan rekomendasi intervensi untuk pencegahan. Tetapi mengelola stres dan melakukan management stres, tampaknya membantu mencegah tingkat stres baik kronis maupun akut dialami terlalu sering yang menyebabkan pengentalan darah dan berisiko penyakit dalam.