Menurut Penelitian, <i>Ghosting</i> Ternyata Berdampak Buruk bagi Kesehatan Mental
Ilustrasi (Cottonbro/Pexels)

Bagikan:

JAKARTA -  Ghosting terjadi ketika seseorang secara tiba-tiba menghentikan semua kontak dengan orang lain tanpa penjelasan. Pihak yang melakukan ghosting akan menghilang secara tiba-tiba. Fenomena ini paling sering dikaitkan dengan hubungan romantis tetapi juga dapat merujuk pada pemutusan pertemanan dan hubungan kerja yang tiba-tiba dan tidak terduga.

Meskipun ghosting bukan hal baru, namun ini menjadi semakin umum dan terkenal karena efek berkembangnya media sosial dan teknologi. Pada dasarnya, teknologi telah membuat ghosting menjadi cara yang sangat mudah untuk melepaskan diri dari hubungan. Meski sering dianggap biasa, namun ghosting jika ditelaah lebih jauh ternyata punya dampak buruk bagi kesehatan mental.

Sebuah studi tahun 2021 yang diterbitkan dalam jurnal Psychology of Popular Media, mengutip Psychology Today, Selasa, 6 September. Merekrut 76 mahasiswa melalui media sosial untuk memberikan tanggapan terkait pengalaman ghosting mereka. 70 persen di antaranya adalah perempuan. Yang mana masing-masing peserta dibagi ke dalam 20 kelompok dengan masing-masing anggota dua hingga 5 mahasiswa. Masing-masing sesi berlangsung rata-rata 48 menit.

Beberapa mahasiswa mengakui bahwa mereka melakukan ghosting karena tidak memiliki keterampilan komunikasi yang diperlukan untuk melakukan percakapan yang terbuka dan jujur. Lainnya mengatakan kurang percaya diri untuk terlibat dalam komunikasi langsung atau memiliki masalah kecemasan sosial.

Beberapa peserta memilih melakukan ghosting karena belum siap menjalani hubungan percintaan yang lebih serius. Hampir setengah partisipan melakukan ghosting karena merasa kurang aman. 45 persen melakukan ghosting untuk menghilangkan diri dari hubungan toksik.

Ironisnya, beberapa melaporkan bahwa mereka terlibat dalam ghosting sebagai cara yang lebih baik untuk mengakhiri hubungan dibandingkan dengan memutuskan hubungan secara langsung. Dalam pengertian ini, ghosting dipandang sebagai cara untuk menghindari menyakiti perasaan pasangan. 

Melihat semakin banyaknya fenomena ghosting, penelitian lain pun dilakukan untuk menunjukkan efek buruk yang ditimbulkan ghosting pada kesehatan mental. Efek jangka pendek pada korban yaitu merasakan terlukanya harga diri. Ia akan terus bertanya-tanya mengapa mantan pasangan meninggalkannya. Ia pun tak ragu menyalahkan diri atas kejadian yang terjadi. Padahal jika dilihat dari hasil penelitian, penyebab ghosting muncul dari orang yang melakukan ghosting daripada korban.

Sedangkan efek jangka panjangnya bisa menimbulkan perasaan tidak percaya yang berkembang dari waktu ke waktu. Dalam beberapa kasus hal ini dapat meluas ke hubungan di masa depan. Pengalaman seperti itu sering memicu penolakan dalam menjalin hubungan baru, menyalahkan diri sendiri, dan perasaan rendah diri.

Tidak hanya korban, ada juga konsekuensi psikologis bagi mereka yang melakukan ghosting. Sekitar 50 persen dari mereka yang melakukan ghosting terhadap orang lain sering dirundung perasaan bersalah dan penyesalan. Temuan juga menunjukkan bahwa ketika orang sering memanfaatkan ghosting sebagai cara mengakhiri hubungan, maka teknik ini akan terjadi secara berulang. Ini berpotensi menghambat pertumbuhan kepribadian seseorang karena ia merasa asing dengan kejujuran dan teknik menghilang jadi nyaman dilakukan untuk menghindari menyakiti perasaan seseorang.

Untuk memutuskan komunikasi, ghosting memang bisa jadi hal mudah dibandingkan harus  menghadapi tantangan dan ketidaknyamanan saat harus memutuskan hubungan secara langsung. Namun, efek negatif terkait kesehatan mental dan ketenangan emosional yang dirasakan kedua belah pihak juga tak boleh diabaikan.