Bagikan:

JAKARTA - Sinemata Buana Kreasindo mengangkat cerita hantu legenda perkotaan ini menjadi produksi film, judulnya The Bell: Panggilan untuk Mati. The Bell atau lonceng ini juga merujuk pada mitos lonceng keramat yang dimiliki para dukun kampung di Belitung.

Di dalam lonceng inilah sang dukun mengurung setan, arwah penasaran, bahkan hantu Penebok. Film ini dibintangi Ratu Sofia, Bhisma Mulia, Givina Dewi, Syalom Razade, Mathias Muchus, Septian Dwi Cahyo, Nabil Lunggana.

The Bell juga bisa jadi kependekan dari kata ‘Belitung’, tempat lokasi cerita hantu Panebok hidup sebagai mitos atau realita yang dituturkan dari waktu ke waktu. “Para leluhur dulu menakuti anak-anak mereka dengan hantu Penebok yang mengincar kepala untuk dijadikan tumbal,” kata Haji Sahani Saleh dikutip dari keterangan media, Rabu, 4 September.

Cerita hantu Penebok pada akhirnya menjadi legenda kontemporer yang hidup di masyarakat Belitung. Konon, ia dikurung dan dibuang di salah satu kawasan Belitung Timur yang dikenal sebagai daerah pulau Dapur.

Cerita tentang korban atau mayat tanpa kepala juga beberapa kali ditemukan di kawasan pantai Belitung. Tahun 2008 harian Kompas mencatat adanya korban tewas tanpa kepala, tahun 2017 juga ada temuan korban tewas tanpa kepala yang menjadi investigasi liputan harian Bangka Pos. Terakhir tahun 2021, harian Pos Belitung menurunkan artikel temuan mayat misterius tanpa kepala. Tiga artikel ini menjadi dasar cerita produksi film The Bell: Panggilan untuk Mati.

Hantu Penebok – Sanem (nama panggilan Haji Sahani Saleh) menjelaskan -- memang tidak sepopuler cerita kuntilanak, pocong, tuyul, suster ngesot, wewe gombel atau Nyi Roro Kidul. Namun bagi masyarakat Belitung, hantu Penebok ini sudah menjadi legenda yang dituturkan para leluhur. Sangat misterius, mistis, hidup dalam cerita tabu dan tak sedikit warga yang pernah bertemu hantu yang digambarkan tanpa kepala.

Konon, hantu ini adalah jelmaan dari noni Belanda yang meninggal dan dibunuh secara misterius karena mempertahankan tanahnya. Itu sebabnya, hantu Penebok selalu mencari korban dengan melepas kepala korban. Cerita horor yang hidup dan didengar sejak masa kolonial dan di awal penambangan timah di Belitung mulai bergeliat.

The Bell: Panggilan untuk Mati diproduksi untuk menambah khasanah cerita horor dan legenda kontemporer negeri ini. Juga cerita tentang lonceng mistis yang dimiliki dukun Belitong yang akan menjadi cerita unik bagaimana para dukun Belitung mengurung hantu dalam lonceng.

Produksi The Bell: Panggilan untuk Mati seluruhnya dilakukan di Belitung Timur. Durasi produksi berlangsung selama 16 hari.

“The Bell menjadi film ketiga yang mengeksplorasi potensi Belitung Timur secara khusus. Dua film awal adalah Laskar Pelangi dan A Man Called Ahok. Keduanya sukses produksi dan sukses penjualan sebagai film box-office,” jelas Budi Yulianto, Eksekutif Produser film The Bell.

Budi Yulianto juga menambahkan, Belitung Timur ini punya kelebihan sebagai lokasi produksi film seperti studio alam yang sangat luas. Bermacam latar lokasi tersedia secara alami, pantai-pantai jernih berpasir lembut, kontur tanah berbukit, bangunan kuno era kolonial, tanah bekas tambang, sampai minimnya gangguan suara di lokasi produksi. Semua titik lokasi produksi ini sangat mendukung suasana produksi The Bell. Begitu banyak area di Belitung memudahkan tim produksi menghidupkan legenda kontemporer cerita hantu Penebok.

Disutradarai Jay Sukmo dan merupakan produksi bersama antara Multi Buana Kreasi dan Sinemata Productions. “Dari begitu banyak urban legend yang sudah dikenal penonton film, kami ingin cerita dan mitos hantu Penebok juga menjadi bagian liga horor Indonesia,” tutup Budi Yuianto.