<i>Alexithymia</i>, Kondisi Tak Bisa Ungkapkan Rasa meski Ada Jutaan Kata
Ilustrasi topeng hitam tanpa ekspresi (Unsplash/John Noonan)

Bagikan:

JAKARTA – Bagaimana Anda mengungkapkan rasa gembira, suka, cinta, dan bahagia? Kata adalah satu medium untuk menggambarkan kondisi perasaan. Namun, bagi yang mengalami gangguan alexithymia akan jauh berbeda.

Melansir Psychology Today, Rabu, 18 Februari, Imi Lo seorang psikoterapis dan penulis buku Emotional Intensity and Sensitivity menerangkan bahwa alexithymia tidak hanya kesulitan mengetahui bagaimana perasaannya. Alexythimia juga sulit menangkap bagaimana perasaan orang lain.

Secara terminologis, Alexithymia berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘tidak ada emosi pada kata-kata’. Dalam bidang ilmu yang menyelami psikologis manusia memakai kata alexithymia untuk menggambarkan orang-orang yang berjuang untuk mengekspresikan emosi dan perasaannya.

Gejala alexithymia dapat dikenali lewat cara berkomunikasi. Dalam menjelaskan sebuah peristiwa atau apa yang dirasakannya cenderung logis.

Meski kerap kali berusaha berkomunikasi dengan orang lain, pengidap alexithymia merasa cemas secara sosial. Seringkali bisa membikin orang lain bingung sebab sikapnya canggung, kurang humor, kurang berempati.

Orang lain juga sering menganggap pengidap alexithymia adalah orang yang dingin, terlihat tabah. Namun, bukan berarti alexithymia tidak berperasaan lho. Jauh di lubuk hatinya, mungkin ia adalah orang yang sensitif dan empatik. Tetapi karena kesulitannya mengungkapkan perasaan jadi mengundang berasumsi negatif dari orang lain.

Alexithymia berbeda dengan psikopat. Menurut Mark G. Haviland, alexythimia cenderung merasa cemas, sangan terkontrol, membosankan, dan konsisten secara etis. Sedangkan psikopat, rasa cemasnya bersifat bebas, terkendali, dominan, licik, dan jauh dari membosankan.

Alexithymia juga berkaitan dengan gejala fisik yang dialami, antara lain detak jantung berdebar kencang, sulit bernapas, tubuh terasa nyeri, dan sakit kepala. Gejala fisik tersebut hadir begitu saja dan tak diketahui dari mana asalnya. Gejala paling buruk dapat mendorong seseorang untuk mencelakai diri sendiri.

Imi Lo lebih lanjut menerangkan bahwa pengidap alexithymia tidak sepenuhnya apatis. Perasaan suka, duka, gembira, bahagia, kecewa, dan empati tetap ada, jauh di dalam dasar hati. Namun kesulitan untuk terhubung dengan perasaan dan tidak dapat mengungkapkannya kepada orang lain.

Untuk mengenali alexithymia terdapat alat psikometri seperti Toronto Alexythimia Scale 20. Dapat juga dengan menilai kerusakan pada insula di otak yang diketahui lewat cek MRI.

alexithymia adalah
Ilustrasi wajah tanpa ekspresi (Unsplash/Elia Pellegrini)

Alexithymia bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, alexithymia primer dimana dialami oleh seseorang dengan kelainan genetik yang menghambat kemampuan untuk merasakan, berempati, dan mengekspresikan emosi.

Ini juga dapat berkaitan dengan kerusakan otak, terutama insula interior yang bertanggung jawab atas respons sensorik, motorik visceral, dan reaksi sensorik somatik di wajah, lidah serta tungkai atas. Cedera yang dapat merusak satu bagian otak juga dapat jadi penyebab alexithymia.

Alexithymia sekunder didefinisikan sebagai kondisi yang muncul karena reaksi terhadap penyakit fisik dan perubahan luar biasa pada hidup.

Meski berkaitan dengan stres pasca trauma, gangguan kecemasan serta depresi, namun tidak jelas secara pasti apakah alexithymia adalah efek atau justru penyebab dari berbagai gangguan tersebut.

Peter E. Sifneos, seorang psikiater dan profesor di Harvard Medical School pada tahun 1976, tidak menganggap alexithymia sebagai gangguan mental. Tetapi, alexithymia seringkali disertai dengan gangguan mental lainnya.

alexithymia adalah
Ilustrasi terapi (Unsplash/Priscilla Du Preez)

Kabar baiknya, menurut Imi Lo, alexithymia dapat disembuhkan dengan dampingan ahli untuk mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaan. Terapi yang dilakukan lebih dialektis dan membangun literasi emosional bagi yang mengalami kesulitan mengenali perasaan.

Sebab Imi Lo juga berprofesi sebagai Creative Arts Therapist, ia merekomendasikan praktik introspektif dengan medium seni untuk menyembuhkan alexithymia, misalnya dengan mengikuti kelas akting, tari, musik, dan sastra.