YOGYAKARTA – Makan secara emosional atau dikenal dengan sebutan emotional eating didorong stres dan merupakan tantangan bagi Anda yang sedang menjalani pola makan sehat. Penelitian banyak yang menggali tentang masalah ini dan mengidentifikasi lebih jauh mengenai emotional eating.
Kristen Carter, MS., penulis The End of Try Again: Overcome Your Weight Loss and Exercise Struggles for Good, menulis bahwa banyak penelitian hanya dilakukan dalam waktu singkat sehingga tidak dapat menunjukkan sebab akibat emotional eating dengan jelas. Masalah utamanya adalah sulit sekali melacak dan mengukur emosi. Sebab emosi dalam konteks makan secara emosional berkaitan dengan usia, jenis kelamin, status kelaparan, pengalaman sebelumnya terhadap makanan, budaya, genetika, dan intensitas rasa makanan. Maka dilansir Psychology Today, Minggu, 26 November, artikel di Journal of Food Science mengungkap fisiologi di balik respons emosional terhadap makanan.
Pada artikel tersebut di atas, makanan yang dimakan dipilih oleh dampak emosional dibandingkan kesenangan yang dirasakan setelahnya. Seseorang yang mengalaminya, mungkin memilih makanan berkaitan dengan kenangan positif.
Pusat penciuman dan pengecapan berhubungan erat dengan saluran di otak. Pusat keduanya memantau rasa lapar, kenyang, emosi, dan ingatan. Dengan demikian, mudah untuk melihat mengapa sejumlah pengalaman hidup, kebiasaan, ingatan, serta respons fisiologis menyebabkan respons otomatis terhadap makanan dalam situasi tertentu.
Makan secara emosional yang dialami seseorang cenderung tidak memperhatikan pengalaman makan. Makan apapun, mungkin sebenarnya tidak menyenangkan bagi mereka. Oleh karena itu, sulit sekali mengidentifikasi emosi apa yang mendorongnya. Tetapi faktor utama terjadinya makan emosional adalah stres. Ini mungkin berasal dari pekerjaan, hubungan, situasi kehidupan secara umum, atau bahkan kurang tidur. Selain juga karena diet atau menekan porsi dan jenis makanan juga menyebabkan stres. Emotional eating juga bisa didorong status gizi.
BACA JUGA:
Artikel lainnya, mengulas tentang kesadaran bagaimana aspek emosional tertentu mendorong emotional eating. Secara internal dan ekspternal, tentu banyak hal yang mendorong. Tetapi Carter menyarankan, bukan memperpanjang perdebatan “mengapa” emotional eating dialami tetapi lebih menyadari tentang “apa” yang sebenarnya terjadi. Dengan mempertanyakan hal apa yang menimbulkan makan secara emosional, maka kita bisa merumuskan solusi dan bersifat memberdayakan.
Solusi yang sangat bermanfaat mengatasi emotional eating adalah dengan membuat perubahan kecil menuju satu tujuan secara perlahan atau dalam jangka waktu tertentu. Hal ini tidak hanya menghilangkan stres akibat diet, tetapi juga memberikan seseorang kesempatan untuk fokus pada satu kebiasaan/perilaku pada suatu waktu. Perubahan kecil, misalnya, dengan mengambil tindakan satu per satu. Ini adalah cara meminimalisir frustasi dan kebingungan serta lebih memotivasi seiring dengan bertambahnya kemenangan kecil.