Bagikan:

JAKARTA - Mengapa orang tetap mempertahankan suatu hubungan, meski hubungan tersebut tidak lagi menyenangkan bahkan cenderung toksik? Sebuah studi baru menunjukkan bahwa hal itu bisa terjadi karena orang yang terjerat dalam hubungan toksik menganggap perpisahan dapat berdampak buruk bagi pasangannya.

Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Personality and Social Psychology edisi November 2018, mengeksplorasi kemungkinan bahwa orang-orang yang memutuskan untuk mengakhiri suatu hubungan tidak hanya mempertimbangkan keinginannya sendiri. Tetapi juga seberapa besar keinginan serta kebutuhan pasangannya untuk melanjutkan hubungan tersebut.

“Semakin banyak orang yang ketergantungan percaya bahwa pasangannya masih ingin terlibat dalam hubungan tersebut, semakin kecil kemungkinan mereka memutuskan perpisahan,” kata Samantha Joel, asisten profesor di Western University di Ontario, Kanada sekaligus penulis utama dalam studi tersebut, dilansir dari laman Medical Express, Rabu, 22 November.

Penelitian sebelumnya menunjukkan jumlah waktu, tenaga, dan emosi yang diinvestasikan dalam suatu hubungan dapat menjadi faktor dalam memutuskan untuk mengakhiri hubungan romantis. Penelitian juga menunjukkan bahwa seseorang mungkin memilih untuk tetap berada dalam hubungan yang toksik karena takut sendirian, susah mendapat pasangan baru, dan merasa rendah diri akan penampilannya.

Dalam kasus tersebut, keputusan untuk bertahan atau pergi didasarkan pada kepentingan pribadi, kata Joel. Namun studi baru ini menunjukkan bukti pertama bahwa keputusan mengenai hubungan romantis yang tidak memuaskan mungkin melibatkan komponen altruistik.

“Ketika orang merasa bahwa pasangannya sangat berkomitmen terhadap hubungan mereka, kecil kemungkinan mereka akan memutuskan hubungan,” kata Joel. 

“Hal ini berlaku bahkan bagi orang-orang yang tidak benar-benar berkomitmen terhadap hubungan tersebut atau yang secara pribadi tidak puas dengan hubungan tersebut. Umumnya, mereka tidak ingin menyakiti pasangan dan peduli dengan apa yang mereka inginkan,” sa,bung Joel.

Dalam membuat pilihan itu, pasangan yang tidak bahagia mungkin berharap hubungan mereka akan membaik, kata Joel.

“Satu hal yang tidak diketahui adalah seberapa akurat persepsi orang tersebut,” kata Joel. 

"Bisa jadi mereka melebih-lebihkan besarnya komitmen pasangannya dan betapa menyakitkannya perpisahan itu," lanjut Joel.

Memutuskan untuk tetap menjalani hubungan yang toksik berdasarkan persepsi ketergantungan pasangan terhadap hubungan tersebut bisa menjadi pedang bermata dua, kata Joel. Jika hubungan membaik, itu adalah keputusan yang bagus. Namun jika tidak, hubungan tidak sehat tersebut akan terus berlangsung.

Ada juga pertanyaan apakah tetap bertahan demi pasangan benar-benar merupakan tindakan prososial? Menurut Joel, tak perlu berada dalam suatu hubungan padahal sudah jelas-jelas hubungan itu tidak membawa kebahagiaan bagi orang yang terlibat di dalamnya.