Bagikan:

YOGYAKARTA – Manusia mayoritas aktif mencari kesenangan. Namun ada satu kondisi yang melatarbelakangi seseorang menghindari kegembiraan dan pengalaman positif. Padahal dua hal tersebut membuat seseorang merasa bahagia. Menurut pengajar di College of the Holy Cross dan penulis buku Unbroken: The Trauma Response is Never Wrong, MaryCatherine McConald, Ph.D., pengalaman emosional yang membekas dan tak terhapuskan mungkin jadi salah satu alasan kenapa seseorang menghindari kegembiraan atau pengalaman positif lainnya. Selain itu, McDonald memberikan penjelasan kenapa seseorang menghindari pengalaman positif karena berikut di bawah ini.

1. Kewaspadaan yang berlebihan

Orang yang pernah mengalami trauma terkadang terjebak dalam kewaspadaan berlebih. Disebut hypervigilance, adalah keadaan yang meningkat ketika Anda mendapati diri terus-menerus menilai potensi ancaman yang ada di sekitar. Bahkan ketika berada di tempat yang aman, masih merasakan ada ancaman.

Ketika merasakan kegembiraan, secara otomatis menurunkan rasa takut. Hal ini memang membuat seseorang merasa lebih rentan, dan terasa menakutkan karena kegembiraan tidak dapat ditoleransi sehingga memilih menghindarinya.

alasan kenapa menghindari kegembiraan dan pengalaman positif
Ilustrasi alasan kenapa menghindari kegembiraan dan pengalaman positif (Freepik)

2. Mati rasa emosional

Mati rasa emosional sebenarnya adalah cara seseorang mencegah situasi tertentu karena trauma. Emosinya tidak terlalu kuat untuk ditanggung, sehingga dimatikan supaya menjadi lebih selektif. Hal ini juga mengakibatkan berkurangnya emosi positif.

3. Kebingungan emosional

Trauma dapat mengganggu kemampuan And auntuk menafsirkan dan merespons emosi secara akurat. Merasakan emosi yang intens, dapat membuat Anda kesal meskipun itu adalah emosi positif. Kebingungan ini dapat membuat emosi positif pun terasa seperti pemicu sehingga menyebabkan penghindaran.

4. Takut kehilangan

Jika Anda pernah mengalami trauma, Anda mungkin tahu betul betapa gentingnya kebahagiaan. Emosi postiif sangat kuat dapat hilang dalam sekejap dan pengalaman ini otomatis memunculkan pikiran “Oh tidak, ini akan berakhir. Lebih baik menghindarinya daripada sakit karena kehilangannya”. Tampaknya, ini paling mungkin menjadi sumber pemikiran menunggu-untuk-menunggu lainnya dan mengantisipasi tragedi setelah mengalami sesuatu yang positif.

alasan kenapa menghindari kegembiraan dan pengalaman positif
Ilustrasi alasan kenapa menghindari kegembiraan dan pengalaman positif (Freepik)

5. Pengkondisian

Jika seseorang mengalami emosi positif yang kemudian situasi selanjutnya mengubahnya menjadi traumatis, maka dapat menciptakan hubungan kuat antara emosi positif dengan kejadian negatif setelahnya. Sehingga hal ini dapat menyebabkan penghindaran kegembiraan dan atau emosi positif secara tidak sadar karena takut kondisinya berubah menjadi situasi traumatis.

6. Rasa bersalah atau malu

Meskipun hal ini tidak berdasar, menurut McDonald dilansir Psychology Today, Rabu, 30 Agustus, para penyintas trauma sering kali merasa bersalah atau malu ketika mengalami kegembiraan setelah mengalami situasi traumatis. Hal ini mungkin terjadi dalam kasus rasa bersalah pada orang yang selamat, yang secara harafiah dapat berupa rasa bersalah karena bertahan hidup ketika orang lain berada dalam situasi buruk.

7. Harga diri

Trauma dapat sangat memengaruhi harga diri dan identitas seseorang. Pasalnya, setelah mengalami trauma seseorang menginternalisasi keyakinan bahwa mereka pada dasarnya rusak atau hancur. Ini membuat mereka sulit bersandar pada kegembiraan karena merasa tidak seharusnya mendapatkannya.

Sebagai seorang pakar yang sering menangani klien dengan trauma tertentu, McDonald menyarankan langkah sederhana mengatasi penghindaran atas kegembiraan dan pengalaman positif. Pertama, dengan merasakan kegembiraan yang tidak terlalu menakutkan, misalnya melihat satu benda yang menakjubkan seperti gelembung sabun yang berwarna pelangi. Praktik ini diadaptasi dari konsep pendulasi Peter Levine, di mana eksplorasi sensasi yang menyusahkan dikelola secara bertahap. Ini membuat sistem saraf beradaptasi dan memproses materi tanpa kewalahan.