YOGYAKARTA – Seseorang yang perfeksionis memiliki standar tinggi. Mereka biasanya ingin menyenangkan orang lain karena takut tidak memenuhi standar. Kadang, ada anggapan keliru tentang pribadi yang perfeksionis. Pertama, dianggap sebagai seseorang yang mengupayakan keunggulan. Namun dalam banyak kasus, perfeksionis mengarah pada kritik diri, stres, dan masalah kesehatan mental maupun kesehatan fisik. Untuk itu, sebagai orang tua perlu mengembangkan pola asuh yang tidak membentuk perilaku perfeksionis pada anak-anaknya. Maka, hindari pola asuh yang menyebabkan anak tumbuh menjadi si perfeksionis berikut ini.
1. Orang tua yang menuntut
Orang tua yang menuntut, menghargai prestasi sebagai kesuksesan eksternal, seperti penghargaan, nilai, uang, gelar, dan terlalu peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain. Ortu yang menjalankan pola asuh ini, melihat anak-anak sebagai perpanjangan diri mereka sendiri.
Orang tua yang menuntut cenderung memberi tahu anak-anak harus melakukan apa yang diinginkan ortu. Bukan terbuka pada apa yang diinginkan, dibutuhkan, atau dirasakan anak. Ortu juga sering memakai “senam” emosional, seperti memaki, berteriak, melabeli anak, dan disiplin fisik.
Senam emosional ini dirasa untuk mengajarkan anak-anak mereka bahwa kegagalan dan ketidaktaatan tidak dapat diterima. Padahal, cara mengasuh yang begitu bisa mengikis harga diri seorang anak. Anak jadi tak pernah memenuhi harapan ortu, merasa malu, gagal, dan tidak mampu. Saat dibesarkan dengan pola asuh yang menuntut, mereka belajar bahwa cinta itu bersyarat dan kesempurnaan menjadi cara mendapatkan cinta.
2. Orang tua perfeksionis
Anak-anak meneladani orangtuanya, maka kalau orang tua perfeksionis dapat mendorong anak bersikap sama. Perfeksionisme didorong ketika anak-anak dipuji secara berlebihan atas pencapaian mereka daripada usaha atau kemajuan mereka. Saran psikoterapis berlisensi yang khusus menangani perfeksionisme, Sharon Martin, LSCW. dilansir PsychCentral, Selasa, 1 Agustus, orang tua perfeksionis hanya fokus pada apa yang dicapai anak, bukan pada proses dan pribadi anak.
3. Orang tua yang kerap terdistraksi
Banyak orang tua yang mudah teralih perhatiannya sehingga tidak selaras dengan apa yang dibutuhkan anak-anak. Biasanya, orang tua ini bermaksud baik tetapi tidak menyadari bahwa yang mereka lakukan membentuk perilaku anak.
Orang tua yang kerap terdistraksi, bisa orang tua yang bekerja 80 jam seminggu dan tidak tersedia secara fisik maupun emosional untuk anak-anaknya. Orang tua yang begitu sibuk, mengabaikan kebutuhan emosional anak. Dengan tumbuh menjadi si perfeksionis, anak akan mendapatkan perhatian dari orangtuanya.
4. Orang tua yang kewalahan
Orang tua yang kewalahan tidak memiliki keterampilan efektif mengatasi tantangan hidup dan kebutuhan anak-anak mereka. Beberapa orang tua dengan pola asuh begini, biasanya pernah mengalami trauma, penyakit mental, kecanduan, atau gangguan kognitif. Bisa juga karena orang tua terlampau stres sehingga tidak menyediakan lingkungan yang aman dan mengasuh dengan penuh kehangatan bagi anak-anak mereka.
BACA JUGA:
Dalam mengasuh anak, diperlukan konsistensi. Karena orang tua kewalahan, maka anak tidak dididik dengan penuh tanggung jawab. Bagi anak-anak, pola asuh begini juga membingungkan. Sehingga menjadi si perfeksionis adalah anggapan anak-anak untuk menyelesaikan masalah keluarga.
Dalam keempat pola asuh di atas, masing-masing memiliki karakter berbeda. Tetapi semuanya sama-sama tidak mampu memperhatikan, memahami, dan menghargai perasaan anak-anak mereka sehingga menjadi anak perfeksionis.