JAKARTA - Bene Dion Radjagukguk bisa dibilang sebagai salah satu sutradara yang sedang bersinar. Di tengah aktivitasnya sebagai komedian tunggal, ia masih produktif membuat film setelah suksesnya Ngeri Ngeri Sedap pada tahun lalu.
Berbeda dengan film keduanya, tahun ini ia menyapa penonton film Indonesia dengan film Ganjil Genap. Film ini merupakan adaptasi dari novel ciptaan Almira Bastari yang sukses disukai pembaca buku. Butuh waktu yang panjang untuk Bene akhirnya menggarap film ini.
“Ajakan untuk membuat film ini sudah sangat lama sekali setelah Ghost Writer waktu itu tayang. Terus saya diajak MD bertemu, saya baca novelnya dan jujur suka sekali novelnya,” kata Bene Dion memulai cerita proses pertemuannya dengan Ganjil Genap.
“Saya sendiri juga pecinta rom-com (romantic comedy - komedi romantis) jadi saya suka nonton dan pengin bikin rom-com dan ketika baca novelnya, sepertinya ceritanya menarik untuk digarap sebagai sebuah rom-com yang mana di Indonesia sangat jarang yang menggarap,” jelasnya.
Keinginannya membuat film rom-com juga berangkat dari kebingungannya bahwa tidak banyak film romansa yang ditujukan untuk orang dewasa. Selain itu, Bene Dion juga sudah menaruh hati dengan novel Ganjil Genap lantaran tahu Almira Bastari adalah orang yang menggarap novel Resign. Dengan berbagai pandangan, pria kelahiran 2 Maret ini juga mau membuat film komedi romantis yang jauh dari image-nya.
“Mungkin laki-laki batak terkenal gak romantis, gak tahu bagaimana mengungkapkan rasa sayang dan segala macam, jadi film ini justru membuat saya jadi belajar itu. Memahami bagaimana membuat adegan yang romantis, membuat penontonnya ikut senyum-senyum sendiri, ikut merasa kasmaran dan segala macamnya,” lanjut Bene menuturkan proses filmnya.
“Itu proses yang seru dan menyenangkan karena akhirnya nontonnya rom-com lagi terus melihat kalau adegannya bisa bikin senyum itu saya jadi mikir “Kenapa saya senyum ya?” Apa yang bikin saya tertarik dengan adegannya sehingga respons yang saya alami itu begini. Dan itu akhirnya berusaha dibreakdown di kepala dan diaplikasikan dalam film Ganjil Genap,” katanya lagi.
Salah satu film yang menjadi inspirasinya adalah 500 Days of Summer, film arahan Marc Webb yang jadi cult classic di kalangan penggemar film rom-com. Bahkan ia mengaku ada satu adegan yang terinspirasi dari film tahun 2009 tersebut. Sekilas, genre komedi romantis terasa ringan tapi bagi Bene Dion ada sesuatu yang harus ia bagikan dalam filmnya dan memperbarui tanpa mengubah materi bukunya.
“Karena ini adaptasi bukan plek-plekan membuat novel menjadi film dan ada perspektif soal asmara yang saya punya dan ingin sampaikan lewat film sehingga niatnya membuat apa yang ada di dalam novel itu upgraded ketika menonton filmnya,” tuturnya.
“Sebagai pembaca pasti setiap orang punya perspektif masing-masing soal asmara, cinta, soal komitmen, pernikahan dan segala macam. Ketika membuat skenarionya, saya mencoba menambah apa perspektif saya sehingga lebih kuat bukan jadi bertentangan dengan apa yang ada di dalam novel,” kata Bene yang menggarap naskah Ganjil Genap bersama Sigit Sulistyo.
“Novelnya membuat kerangkanya, saya berusaha plating dengan segala macam perspektif sehingga kerangkanya dan hasilnya jadi benar-benar menyenangkan untuk ditonton.
Ganjil Genap mengisahkan Gala dan Bara yang mengakhiri hubungan mereka setelah 8 tahun berpacaran. Kemudian Gala menemukan Aiman, seorang pria yang hadir menyembuhkan hatinya hingga Gala menyadari Aiman memiliki kesamaan dengan Bara.
“Oh ternyata cinta tuh begini ternyata laki-laki perspektif terhadap perempuan, perempuan terhadap laki-laki seperti ini. Misalnya begini ketika Gala dan Bara putus, pasangan itu pacaran 8 tahun putus yang paling susah move on di awal si Gala, dia susah sekali untuk melupakan itu, sedih sekali. Tapi Bara dengan mudah dia move on kesannya sudah dapat pasangan baru tapi sekian lama berlalu, Gala-nya sudah move on, si Bara baru dalam penjajakan untuk move on,” cerita Bene mengenai film barunya.
“Menurut obrolan dengan banyak orang, memang laki-laki dan perempuan itu fase move on nya berbeda, biasanya perempuan nangis di awal lalu dia move on. Kalau laki-laki seperti ceria di awal tapi kemudian dia baru mengalami kegalauan dan proses itu muncul ketika menulis. Banyak kisah begini di antara pertemanan beda dengan fase move on antara perempuan dan laki-laki dan hal lain,” lanjutnya.
Diskusi selalu menjadi pilihan Bene Dion dalam membuat film. Ia mengenang ketika menggarap film Ngeri Ngeri Sedap, ia berdiskusi dengan teman-temannya mengenai keputusan seorang anak. Hal itu juga dilakukan dalam menciptakan film rom-com pertamanya di mana beberapa percakapan itu berangkat dari hasil percakapan dengan kekasihnya.
BACA JUGA:
“Ketika membaca novelnya, aku bisa membayangkan apa yang ada dengan isi kepala karakternya. Tapi tentu saja perlu referensi lain jadi saya tanya pacar saya, saya tanya bagaimana ketika dia dulu putus dengan mantannya, apa yang di kepala dan segala macamnya. Dia juga punya teman yang pacaran lama terus putus terus sudah akan menikah dengan pacar baru,” jelas Bene.
“Saya suruh pacar saya untuk ngobrol dengan dia, tanyain dong apa isi kepalanya ketika ketemu pasangan baru dan rencana menikah, apakah dia ada rasa khawatirnya, ragunya, apakah ada sesuatu di dalam kepalanya yang perlu dipertimbangkan. Jadi berusaha mencari insight, siapa tahu ada perspektif baru yang ternyata menarik dan bisa dimasukkan ke dalam filmnya,” katanya.
Keresahan sekaligus Tantangan
Ganjil Genap bisa disebut sebagai film serba hal baru. Selain menggarap rom-com pertama kali, ini juga menjadi pertama bagi Bene Dion membuat film adaptasi. Film ini juga menghadirkan kisah tentang kehidupan masyarakat Jakarta, kota yang ia tinggali selama 10 tahun.
“Kalau kita melihat film yang mencoba mencapture betapa Jakarta itu banyak tempat yang grass root, yang range nya agak di bawah itu lumayan banyak. Tapi film rom-com dengan metropop itu mencoba mencapture sudut-sudut indah dan mungkin orang berpikir di Jakarta di mana cari yang begitu, saya mencoba mencari titik seperti itu dan ternyata Jakarta punya banyak seperti itu yang belum dieksplor,” ceritanya.
“Harapannya orang bisa melihat Jakarta itu punya range yang sangat luas di dalam segala macamnya. Baik kehidupan, tempat, dan segala macam jadi kalau orang mau melihat tempat yang mungkin tadinya belum tereksplorasi, harapannya film ini bisa menggambarkan itu dan orang bisa memahami bahwa Jakarta itu gak sekadar kota yang keras, semrawut, ada banyak perspektif lain,” harapnya.
“Salah satu yang membuat saya mengambil pekerjaan ini karena 2 film sebelumnya (cerita) original jadi ada semacam stereotipe bahwa film adaptasi itu sangat susah untuk dilakukan karena banyak isi kepala pembacanya yang bisa jadi kita tidak mengerti yang mereka bayangkan,” jawab Bene Dion soal adaptasi.
“Ketika mereka membuat adaptasi itu bertabrakan dengan mereka ekspektasikan dan itu yang membuat (saya seperti) “ya udah deh mau coba”. Pasti ada ketakutan tapi saya lakukan selama pembuatannya tetap fokus, bagaimana membuat novel menjadi film tapi secara isi, cerita dan segala macamnya upgraded. Intinya mengambil ceritanya rohnya menjadi film tetap ada aspek yang upgrade sehingga saya sendiri puas dan harapannya pembacanya gak kecewa,” katanya.
Pemilihan Oka Antara dan Clara Bernadeth sebagai pemeran utama menjadi kejutan, tapi Bene Dion secara pribadi merasa keduanya adalah aktor yang cocok memerankan karakter ini. Menurutnya, mereka bisa menghasilkan chemistry Gala dan Aiman dengan baik dalam film.
“Memang karakternya usianya cukup berbeda. Filmnya juga film yang dibuat metropop istilahnya menggambarkan kehidupan urban jakarta yang harus digambarkan dengan baik. Menurut saya Clara Bernadeth punya unsur wajah metropopnya terus sikapnya, ketika saya melihat “Wah ini sih cewek metropop banget, cocok,” kata Bene menjelaskan proses karakternya.
“Secara akting keduanya punya kemampuan yang baik dan tidak mengecewakan sama sekali bekerja bersama mereka,” ujarnya.
Delapan tahun berkarier di industri perfilman seakan membentuk pribadinya menjadi seorang yang siap dengan perubahan industri. Baik dari respons, kritikan, hingga sudut pandang yang orang lain sampaikan. Menurut Bene, ia selalu memastikan kualitas filmnya tetap terjaga tentunya tanpa menghapus sisi dirinya.
“Yang jelas ketika membuat, memproduksi, menulis dan segala macam prosesnya saya sudah memberikan totalitas terhadap karya ini, memikirnya dan memberi yang terbaik. Kalaupun nanti ada respons yang muncul itu harus diterima dengan baik karena sebagai penonton mereka juga punya pengorbanan, waktu, uang untuk menonton dan apa pun responsnya saya harus terima dengan baik karena itu hak mereka,” kata Bene Dion.
Titel box office dengan sadar melekat dengan Bene Dion. Bagaimana tidak, transisi dari komedian menjadi sutradara menghasilkan film yang mendapat respons positif mungkin tidak banyak digapai oleh figur serupa. Saat mendengar pernyataan tersebut, Bene menjelaskan tidak ada formula untuk menciptakan box office dalam film.
“Film itu punya takdirnya masing-masing. Tidak ada orang yang bisa ditanya apa rumusan yang pasti untuk membuat film Indonesia laris, tidak ada yang bisa membuat formulanya. Kalau ditanya beban, tentu beban tapi lagi-lagi saya sudah punya keyakinan semua film punya takdirnya dan tugas saya membuat film terbaik yang saya mampu. Secara totalitas dan secara pekerjaan saya sudah memberikan yang terbaik,” tegas Bene.
Ketika ditanya lantas apa yang menjadi pemicu Bene Dion dalam menciptakan sebuah film, dengan sigap ia menjawab keluarga jadi ‘motor utama’.
“Saya punya ibu, dan saya pengin setiap ibu saya nonton film saya, dia ngerti. Saya gak pengin bikin film itu terlalu complicated sehingga keluarga terdekat saya tidak bisa menikmati. Saya selalu berpikir kalau yang nonton ibu, adik, kakak saya kira-kira mereka ngerti gak sama film, mereka simpati gak dengan permasalahan atau karakter,” lanjutnya.
Ganjil Genap juga hadir di tengah gempuran genre horor sekaligus lesunya perkembangan film Indonesia. Meski dirasa khawatir, namun Bene ingin ada keberagaman dalam perfilman walaupun harus beradu dengan maraknya konten OTT (over the top). Ia juga mengaku belum punya niat untuk membuat film horor dan masih nyaman dengan genre komedi.
“Sejujurnya yang saya khawatirkan bukan terkait jumlah penonton Ganjil Genap tapi bagaimana nasib film Indonesia ke depannya. Karena kita harus akui, setelah pandemi, muncul banyak sekali OTT dan OTT itu relatif lebih mudah untuk penonton mengaksesnya,” jelas Bene.
“Saya tidak punya kemampuan, saya tidak punya referensi dan insting untuk membuat film horor yang bagus yang keren yang berkualitas jadi saya khawatir kalau nanti film horor hanya yang terus melaju saya mau gak mau harus bikin horor dong? Itu makanya bagaimana membantu supaya Indonesia filmnya di bioskop berwarna tidak hanya horor aja,” katanya.
Kepada VOI, ia membocorkan sudah memiliki rencana film terbaru yang masih mengandung unsur komedi. Ia merasa ada kesenangan tersendiri setiap kali memasukkan komedi ke dalam proyek yang ia kerjakan.
“Hampir ingin selalu mencoba genre baru walaupun nyawanya tetap komedi dan film selanjutnya memang sudah punya rencana, semoga ya didukung arahnya juga supaya tetap memberikan warna baru dan mengerjakannya punya excitement yang besar karena beda lagi,” ujar Bene.
“Setiap sutradara pasti punya excitementnya masing-masing, misalnya Joko Anwar terkenal bikin horor ya mungkin dia nyamannya atau Timo (Tjahjanto) selalu bikin action, dia suka berantem kali ya atau begitu jadi punya referensi masing-masing,” katanya.
Mengakhiri percakapan siang itu, Bene Dion merasa pekerjaannya selalu menciptakan kegembiraan tersendiri, baik itu membuat film atau berkomedi. Ia berharap pekerjaan yang membuatnya gembira adalah sumber dari produktifitasnya dalam berkarya.
“Sejauh ini segala macam kegiatan pekerjaan itu membuat saya gembira tidak punya beban, tidak menekan, tidak bikin stres, tidak mengerjakan sesuatu yang sebenarnya saya tidak mampu mengerjakan. Ketika ada tawaran pekerjaan dan kegiatan yang masuk, saya selalu mikir ini bikin gembira gak, kalau gembira ayo kita lakukan!” kata Bene Dion menutup perbincangan.