JAKARTA - Hanny Saputra kembali hadir dengan film horor Pesugihan: Bersekutu dengan Iblis yang tayang pada Februari lalu. Reuninya dengan Nirina Zubir pada film itu disebut sang sutradara untuk membawa kembali nuansa yang ada pada film Mirror yang pernah ia garap pada tahun 2005.
Ketika mendapat tawaran membuat film horor, Hanny yang merasa dirinya kuat dalam hal drama mencoba menggabungkan kekuatannya itu dengan kemauan produser.
“Melihat film pertama saya, Mirror, buat saya itu unsur dramanya kuat dan permainan psikologisnya kuat banget. Di sini saya mau mainin lagi dengan konsep itu, drama horor. Jadi lebih banyak dramanya, tapi memang penyebabnya adalah sesuatu yang mistis,” ujar Hanny Saputra saat berkunjung ke kantor VOI di Tanah Abang, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Hanny menyebut drama tidak bisa dipisahkan dari film-film yang digarapnya. Ia mengatakan bahwa keanehan-keanehan mistis yang ada dalam horor, dengan dimasukkan unsur drama akan menjadi keunikan tersendiri.
“Karena sesuatu yang mistis itu kan aneh ya kalau masuk ke dalam manusia, dan dengan keanehan itu kita masukin unsur drama, pasti jadi sesuatu yang unik, karena ada sesuatu yang aneh dan membingungkan. Tapi itulah yang terjadi dalam kehidupan manusia,” kata Hanny.
Adapun dalam penggarapan filmnya selama ini, Hanny mengaku punya kebiasaan-kebiasaannya tersendiri, yang mana dapat membuatnya bertahan selama puluhan tahun di industri perfilman tanah air. Ia selalu berpikir untuk membuat film sesuai dengan gayanya sendiri.
“Saya bikin film ya dengan gaya saya aja. Kebetulan saya dapat penulis, penulisnya pasti mendekati gaya saya. Saya juga suka sama hal-hal seperti itu, saya bawa penulis juga memang yang kuat rasa dramanya,” katanya.
Seluruh karya yang sudah ia kerjakan didasarkan pada pemahaman bahwa film sebagai media untuk berekspresi. Dengan segala kompleksitasnya, Hanny melihat film sangat trap untuk menggambarkan kehidupan manusia.
“Buat saya, media film itu kompleks, segala unsur kesenian ada di situ. Dengan film kita bisa menceritakan kemanusiaan secara utuh, dan kita menyampaikan pesannya itu kena banget karena dia berbentuk manusia dengan segala tingkah lakunya,” ucap Hanny.
Pemahaman Hanny terhadap film telah terbangun sejak masa kecilnya. Ia mulai menyukai film karena kerap diajak ayah dan ibunya yang juga pecinta film ke bioskop.
Hanny kecil hingga remaja suka mengekspresikan imajinasinya ke dalam bentuk peran pada kesehariannya dengan anak-anak sebaya. Ia juga sempat ikut kelompok teater.
“Setiap imajinasi saya saat masa kecil, saya selalu peranin diri dengan permainan. Semakin tua saya main teater juga. Saya suka memerankan orang yang mengganggu orang lain,” kisahnya.
Hanny sewaktu duduk di bangku SMP juga punya kisah menarik. Saat itu, ia bersama salah seorang temannya berhasil membuat teman satu kelas menangis karena cerita bohong yang dibuatnya.
BACA JUGA:
“Teman saya sakit, kita pergi ke dokter. Saya yang nganterin dan pas pulang saya bilang 'kita pura-pura ya, saya akan ngomong di kelas tentang sakit kamu apa'. Saya cerita bahwa dia sakit dan sebulan lagi akan meninggal. Semua satu kelas nangis semua,” tutut Hanny.
Saat itu, Hanny Saputra merasa dirinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dengan cerita yang ia buat. Ia juga merasa kisahnya itu sangat dekat pemaknaannya terhadap film sebagai media ekspresi.
“Luar biasa waktu itu. Saya merasa kalau saya bisa melakukan itu. Kalau saya larinya ke film, itu dekat sebenarnya. Saya bisa melakukan apa saja untuk membuat sensasi,” ujarnya.
Stroke Tak Patahkan Semangat Berkarya
Dengan minat dan bakat atas film yang dimilikinya, Hanny memutuskan belajar sinematografi secara formal di Institut Kesenian Jakarta.
Pada tahun 2004, ia debut sebagai sutradara di industri perfilman nasional lewat film Virgin: Ketika Keperawanan Dipertanyakan. Tidak kurang dari 17 judul film disutradarainya, hingga akhirnya ia merasakan tantangan berat saat pandemi di tahun 2020.
Hanny menyebut masa pandemi saat itu sebagai salah satu yang terberat sepanjang kariernya sebagai sutradara. Tidak ada proyek film yang ia jalani pada masa-masa itu.
“Yang terberat pas pandemi kemarin. Saya benar-benar nggak ada proyek, nggak ada pemasukan uang. Berat banget rasanya buat saya,” kata Hanny.
“Sebelum pandemi kan saya ngerasa cukup mudah nyari uang di film. Pas pandemi kok bisa stop loh, apakah ini buat saya sendiri atau orang lain juga ngalamin itu saya nggak ngerti,” sambungnya.
Penyakit stroke yang ia alami bertepatan dengan masa pandemi membuat bukan kariernya saja yang terasa berat, namun kehidupannya secara keseluruhan.
Hanny bercerita bagaimana ia secara tiba-tiba mengalami stroke saat berada di kantor tempatnya bekerja.
“Ngeri banget loh itu, horor banget itu buat saya, tiba-tiba kita ngalamin sendiri di depan mata kita kalau kita stroke. Saya benar-benar ngeri, itu mengerikan sekali. Habis itu saya perawatan dan uang yang kita kumpulkan itu habis. Itu benar-benar ujian dari Tuhan buat saya,” tuturnya.
Dengan keadaannya saat itu, Hanny mencoba merefleksikan diri atas apa yang telah dilakukannya selama ini. Ia merasa penyakit dan pandemi sebagai pengingat dari Tuhan atas kesombongannya.
“Dari situ saya mulai lagi ke Tuhan-nya kencang banget itu. Saya merasa saya melakukan sesuatu kesombongan dalam hidup ini. Waktu itu saya merasa gampang nyari duit. Sekarang saya nggak berani lagi ngomong kayak gitu,” katanya.
Hanny bersyukur bahwa dirinya masih mendapat tawaran untuk menyutradarai film setelah jatuh stroke. Ia merasa bahwa pertolongan Tuhan telah datang padanya.
“Saya datang ke produser, mereka pasti meragukan saya, pasti mereka ngecek saya bisa kerja nggak sebenarnya. Pasti itu, dan agak lama bisa meyakinkan mereka kalau saya bisa mengerjakan sesuatu, bahkan lebih,” ucap Hanny.
“Cuman saya sekarang udah lain, saya nggak mau sombong, saya takut untuk sombong, sombong nggak ada artinya apa-apa. Secara spiritual sih saya ngerasain banyak kemajuan,” lanjutnya.
Hanny yang dahulu merasa bahwa seluruh film garapannya berhasil karena kemampuannya, kini merasa bahwa seluruh yang dia kerjakan hanya mungkin terjadi atas kehendak Sang Pencipta.
“Saya jatuh sejatuh-jatuhnya. Tapi mungkin kalau nggak jatuh saya mungkin nggak kembali lagi. Mungkin karena saya keras kepala kali ya, jadi orang keras kepala memang harus digituin. Kalau nggak bisa dikasih tau gitu ya nggak bakal bisa maju,” katanya.
Apa yang dilaluinya selam masa pandemi membuat Hanny berubah, begitu juga dengan karya-karyanya. Ia mencoba untuk mengerjakan sesuatu sebagai kebaikan untuk Tuhan. Meski harus menggarap horor, ia mencoba untuk memasukkan nilai-nilai spiritualitas.
“Tawaran itu kan datang beda-beda, kayak di horor pun saya coba berusaha sedikit spiritual. Bahwa unsur drama yang penuh moral itu bisa dibikin di mana aja, di film horor sekalipun,” ujar Hanny.
“Saya punya media film, buat saya itu luar biasa banget. Saya bisa melakukan apa saja untuk membuka hati orang, untuk bisa menyadarkan orang. Dan itu yg saya lakukan. Saya berharap makin kuat dan makin kuat,” sambungnya.
Sadar bahwa stroke yang dialami tidak separah mereka yang hingga tidak bisa bicara dan berjalan, Hanny tanpa maksud mengajari mengatakan bahwa keyakinan bahwa stroke bisa disembuhkan sangat penting bagi penderita stroke.
“Buat saya, stroke itu bisa sembuh. Saya yakin walaupun saya tertatih-tatih tapi ada sesuatu yang bisa saya pertahankan untuk bisa tegak. Dan ketika kita tegak dan beriman, kita bisa sembuh. Saya yakin itu,” tuturnya.
“Saya sekarang jalan masih tertatih-tatih, nanti lama-lama pasti juga makin cepat. Saya merasa Tuhan menyertai saya dan itu yang saya rasakan. Ketika kita nggak dijatuhin sampai bawah dan kita bisa bertahan, Tuhan beserta kita utuh. Saya yakin itu,” pungkas Hanny Saputra.