Supaya Dipahami secara Bijak, Begini Kegalauan Ibu Baru atau <i>Maternal Ambivalence</i>
Ilustrasi memahami secara bijak tentang kegalauan ibu baru atau maternal ambivalence (Freepik/Drazen Zigic)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Dalam perjalanannya, ibu hamil dan melahirkan mengalami perubahan peran yang memicu emosi naik-turun. Ini disebut maternal ambivalence atau perasaan cinta hingga frustasi. Kondisi emosional ini, menurut psikiater bersertifikat, Aparna Iyer, MD., normal dialami.

Maternal ambivalence atau perasaan ambivalensi keibuan, menimbulkan perasaan bersalah atau bahkan malu. Kondisi ini menggambarkan konflik emosi yang sangat besar dan dirasakan seorang wanita terhadap anaknya. Mulai dari cinta dan kasih sayang hingga frustasi dan kemarahan. Seringkali, seorang ibu dapat mengalami semua emosi ini pada saat bersamaan.

Berdasarkan fakta yang dilansir MbgRelationship, Kamis, 2 Februari, sebanyak 40 persen ibu melaporkan perasaan acuh tak acuh terhadap bayi mereka pada awalnya. Tetapi karena ekspektasi masyarakat membentuk ‘ibu yang sempurna’ sehingga sang ibu merasa bersalah akan perasaan acuhnya. Mereka menganggap ini kondisi tak wajah dan salah, tetapi apakah benar demikian?

maternal ambivalence
Ilustrasi kegalauan ibu baru atau maternal ambivalence (Freepik/shurkin son)

Sebagai ibu, memiliki sisi emosi yang seperti normalnya manusia. Tetapi karena pandangan tentang ‘naluri keibuan’ yang merawat dan mencintai anaknya, maka membikin perasaan naik turun. Perasaan merupakan sisi internal seseorang, sedangkan umpan dari masyarakat dan sosial media, dapat memengaruhi rasa bersalah karena merasa tidak tepat, bukan orang yang baik, hingga merasa tidak merawat anaknya secara benar.

Penting dipahami bahwa ambivalensi emosional seputar menjadi ibu. Ini tidak mengurangi betapa seorang ibu mencintai kehamilan dan bayinya. Artinya, seorang ibu memerlukan pengenalan dan dampingan terhadap seberapa emosi yang campur-aduk dialami pada masa kehamilan dan membersamai anak-anaknya.

Psikiater dan psikoanalis Barbara Almond, MD., dilansir Psychology Today mengatakan, ambivalensi muncul ketika ada konflik antara kebutuhan orang tua dan anak-anak mereka. Misalnya, seorang ibu dengan penuh kasih menyusui bayi tetapi beberapa jam setelahnya tidak senang ketika harus bangun dari tidurnya karena harus menyusui setiap beberapa jam sekali. Karena situasi tersebut, banyak wanita merasa bersalah dan tertekan karena kebencian.

Banyak wanita merasa bersalah dan tertekan karena kebencian, kelelahan, dan pikiran tidak ramah mereka sendiri. Kebencian itu tampaknya sangat bisa dimengerti. Lagipula, dia memang memberi makan bayinya meskipun dia lebih suka tidak pada saat dia harus tidur membayar rasa lelahnya. Tampaknya perasaan ambivalen ini membingungkan. Perasaan di antara, antara cinta tetapi juga kecewa.

Menurut Iyer, memiliki dukungan kuat selama kehamilan dan membersamai anak, penting didapatkan seorang ibu untuk mengatasi maternal ambivalence. Ini bermanfaat untuk membantu menetralkan emosi dan seluruh pengalaman yang dialami. Misalnya, membutuhkan seorang teman baik, partner yang suportif, dokter terpercaya, hingga support system yang positif.