JAKARTA - Kesehatan reproduksi menjadi salah satu topik yang cukup mendapat perhatian dari beragam pihak karena berkaitan dengan kualitas generasi di masa depan. Salah satunya yang paling disoroti adalah terjadinya anemia pada ibu sebagai salah satu faktor risiko penyebab tingginya angka kematian ibu (AKI).
Selain anemia, penyakit yang paling sering menghantui perempuan di Indonesia adalah kurang gizi, perdarahan karena keguguran kemudian persalinan berisiko akibat penyakit organ reproduksi menjadi beberapa contoh terkait kesehatan perempuan.
Oleh karena itu, masalah kesehatan perempuan perlu perhatian serta ruang untuk bisa melakukan sosialisasi secara lebih luas agar perempuan mengetahui informasi kesehatan reproduksi yang sering dialaminya, sekaligus mendapatkan jalan keluar atas permasalahan yang sering dihadapi di tempat pelayanan primer.
Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Eni Gustina membeberkan banyak perempuan mengalami ketakutan secara mental yang luar biasa karena adanya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang merupakan wujud ketidakmampuan suami istri bertoleransi dalam berkeluarga. Ini jugs berdampak pada kesehatan reproduksi.
“Bagi orang yang masih kurang dewasa dalam memaklumi orang lain, maka pasti akan timbul konflik. Kalau sampai terjadi KDRT, ini pasti puncak ketidakmampuan dalam menoleransi orang lain,” kata Eni dikutip dari ANTARA, Selasa, 27 Desember.
Menurut dia dalam membangun dan membina hubungan sebagai pasangan rumah tangga, kedua pihak tidak boleh hanya mengandalkan kesiapan secara fisik seperti usia yang cukup untuk melahirkan atau mempunyai harta dalam jumlah yang sanggup memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.
BACA JUGA:
Pembangunan rumah tangga juga perlu memperhatikan kesiapan mental pasangan tersebut, di mana kesiapan mental dapat terbangun melalui adanya toleransi atas perbedaan masing-masing melalui pembelajaran setiap hari.
Dalam membangun dan membina hubungan sebagai pasangan rumah tangga, kedua pihak tidak boleh hanya mengandalkan kesiapan secara fisik seperti usia yang cukup untuk melahirkan atau mempunyai harta dalam jumlah yang sanggup memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.
Dengan demikian, Eni menyarankan calon pasangan pengantin untuk tidak terburu-buru dalam melangsungkan pernikahan. Diharapkan semua pasangan bisa merencanakan semua aspek mulai dari kesiapan secara fisik, finansial hingga mental, sehingga keluarga yang dibangun menjadi berkualitas dan sejahtera.
“Kami berharap sejak usia muda, para calon pengantin dapat memahami betapa pentingnya berencana dalam keluarga, sehingga kasus KDRT di Indonesia tidak terjadi dalam setiap rumah tangga,” ucap Eni.