YOGYAKARTA – Menjadi seseorang yang pesimis, tentu di satu sisi menguntungkan karena berkaitan dengan planning atau perencanaan yang lebih matang. Tetapi ternyata, orang yang optimis justru lebih sehat secara fisik dibandingkan pesimisme yang kerap overthinking.
Dalam konteks positif, optimisme diterjemahkan menjadi harapan positif. Meski positif kadang tak realistis, misalnya pada seseorang yang menderita penyakit parah tanpa obat. Tetapi kepercayaan pada kemampuan diri dan bersikap optimis, membantu mengendalikan dan mengelola masalah. Melansir ulasan profesor psikologi di University of Southern California, Derby Saxbe, Ph.D., menjaga keseimbangan optimis vs pesimis sangat disarankan. Tetapi bukti secara konvergen menunjukkan bahwa optimisme dapat meningkatan hasil kesehatan yang menguntungkan.
Dilansir Psychology Today, Senin, 21 November, peneliti dari University of Kansas dan Carnegie Mellon University melakukan meta-analisis dari 83 penelitian yang dipublikasikan. Berdasarkan data dari ribuan orang, mereka menyimpulkan bahwa optimisme dikaitkan dengan manfaat untuk bertahan hidup, manajemen nyeri, fungsi kekebalan tubuh, fungsi kardiovaskular, dan fungsi fisik. Hubungan ini berlaku dari berbagai pasien, termasuk mereka yang menderita kanker, HIV/AIDS, penyakit kronis lainnya seperti jantung, diabetes, rheumatoid arthritis, dan multiple sclerosis serta operasi besar.
Secara medis, peneliti belum menemukan bagaimana optimisme membantu menahan efek negatif dari penyakit fisik. Kemungkinan karena adanya jaringan faktor psikologis, kontekstual, dan neurobiologis. Ketiganya memengaruhi satu sama lain sehingga mendorong kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri dan mencari makna ketika mengalami kesulitan.
Optimisme juga dilihat sebagai penghargaan diri lebih besar, dapat mengandalkan orang lain ketika menghadapi tantangan, dan tumbuhnya kekuatan yang tidak mereka sadari dimiliki. Efek positif dari optimis, antara lain memperharui pandangan, kesehatan hubungan, kualitas hidup, nilai-nilai, dan prioritas dalam menghadapi kenyataan sulit.
Optimisme dan pesimisme, menurut Saxbe, merupakan sebuah kontinum bukan dikotomi. Dikotomi artinya pembagian dari keseluruhan menjadi dua. Sedangkan kontinum, merupakan rangkaian yang tak putus. Lebih jauh lagi penjelasan Saxbe, ketika seseorang pesimis tidak secara otomatis tidak bisa menjadi optimis. Seseorang mungkin berpandangan optimis tentang hubungan tetapi pesimis tentang kemampuan menulis.
BACA JUGA:
Dalam serangkaian terapi, yang direkomendasikan oleh peneliti dari Universitas Maastrict, Belanda, menunjukkan bahwa optimisme dapat bekerja untuk memaksimalkan kualitas hidup. Bukan berarti untuk menghilangkan pesimisme sepenuhnya, tetapi lebih banyak berpikir positif.
Tutup Saxbe, untuk tidak melakukan hal buruk tidak sama dengan melakukan hal baik. Kalau Anda sering pesimis, cobalah memanfaatkan peluang untuk menyesuaikan diri dengan kesulitan yang dihadapi dengan tidak hanya berpikir optimis tetapi melakukan hal baik untuk diri sendiri.