YOGYAKARTA – Anak-anak fokus pada perkembangan dan pertumbuhannya sedangkan orang tua berperan merawat mereka. Namun terkadang peran berbalik, seorang anak mendapatkan tuntutan untuk bertanggung jawab seperti orang dewasa. Dalam hal sederhana misalnya, mereka membersihkan rumah atau merenungkan konflik keluarga sejak usia muda. Pembalikan peran ini dikenal dengan parentifikasi yang berisiko negatif pada aspek emosional dan mental.
Menurut psikolog klinis berlisensi, Becky Kennedy, Ph.D., parentifikasi membuat anak mempelajari perasaan dan kebutuhan mereka sendiri. Tambahnya lagi dilansir Parents, Kamis, 28 Juli, parentifikasi bisa mengancam mental dan emosional anak-anak.
Terdapat dua jenis parentifikasi, yaitu parentifikasi emosional dan parentifikasi instrumental. Parentifikasi, terjadi ketika ibu atau ayah mengaburkan peran antara orang tua dan anak.
“Dalam hubungan orang tua-anak yang sehat, orang tua merawat anak dan menawarkan dukungan instrumental (seperti makanan, tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari) dan dukungan emosional tanpa syarat (seperti cinta, kasih sayang, bimbingan, dan aturan),” jelas Aude Henin, Ph.D., co-director Program Terapi Perilaku Kognitif Anak di MGH.
Tetapi ketika orang tua tidak dapat secara konsisten menawarkan kebutuhan anak, seorang anak dapat menjadi orang tua, dan berada dalam posisi harus merawat orang tua. Pengasuhan emosional, terjadi ketika orang tua menceritakan rahasia pada anak mereka atau mencari kenyamanan emosional pada anaknya.
Anak-anak yang mengalami parentifikasi emosional, mungkin memberi nasihat tentang situasi dewasa, meredakan pertengkaran rumah tangga, atau menghibur saudara kandung mereka selama masa-masa sulit. Biasanya anak-anak tidak mendapatkan dukungan emosional dari orang tuanya.
Parentifikasi instrumental terjadi ketika memberi tanggung jawab untuk tugas-tugas praktis seperti membayar tagihan, memasak makan malam, membuat daftar belanjaan, memesan janji medis, dan menyiapkan adik-adik untuk sekolah. Tugas ini mungkin berada di atas kemampuan dan pemahaman mereka.
Orang tua perlu memperhatikan bahwa tidak semua tanggung jawab masa kanak-kanak dianggap sebagai orang tua. Jika Anda tidak yakin apakah interaksi orang tua-anak berjalan dengan sehat. Henin menyarankan untuk memikirkan kembali tentang ‘kebutuhan siapa yang terpenuhi?’ atau ‘apakah permintaan sesuai dengan usia?’.
Henin juga menyarankan pentingnya orang tua memberikan tugas pada anak sesuai usianya. Ini bisa membangun kompetensi dan tanggung jawab, bahkan meningkatkan keterampilan mereka.
BACA JUGA:
Risiko parentifikasi, seperti mengelola tanggung jawab orang dewasa yang membuat orang dewasa mengalami stres. Jadi tak heran jika anak-anak terpengaruhi secara negatif dari tekanan tersebut. Ketika orang tua menukar peran atau dengan pola asuh parentifikasi, anak-anak menganggap sistem keterikatan sebagai ancaman. Karena anak-anak tidak yang diasuh orang tua dengan parentifikasi tidak mendapatkan validasi dari perasaan mereka. Mereka akhirnya menghadapinya sendiri, yang sering mengarah pada menyalahkan diri sendiri dan keraguan diri.
Masalah mental lainnya, seperti stres kronis kecemasan, dan depresi dapat muncul sebagai respons atas pola asuh. Parentifikasi juga dikaitkan dengan perilaku agresif, masalah akademik, penggunaan narkoba, dan kesulitan sosial, menurut The Developmental Implication of Parentification: Effects on Childhood Attachment, sebuah studi yang dilakukan tahun 2012 di Universitas Columbia.
Henin menambahkan, efek parentifikasi bisa bertahan hingga dewasa. Bisa menyebabkan disfungsi lebih lanjut, seperti kecemasan tentang kemandirian, ketakutan ditinggalkan, kemarahan dan kebencian, atau penghindaran keintiman.