JAKARTA - Gawai saat ini sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat modern. Bukan lagi sebagai alat pelengkap gaya hidup (lifestyle), penggunaan gawai adalah cara hidup kita saat ini (way of life).
Berdasarkan laporan We Are Social pada Februari 2022, pengguna internet di Indonesia mencapai 204,7 juta atau 73,7% dari total populasi. Dari para pengguna internet tersebut, 96% mengakses internet melalu ponsel pintar.
Gawai khususnya bagi para remaja dengan berbagai fiturnya seperti pisau bermata dua yang satu sisi besar manfaatnya namun juga bisa berbahaya jika penggunaannya tidak tepat. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2018 menyebut, penggunaan internet oleh individu sebanyak 65,34 persen berusia 9–19 tahun. Pada rentang usia tersebut sebanyak 93,52 persen penggunaannya lebih fokus kepada media sosial selain youtube dan game online.
Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) bekerja sama dengan Rumah Guru BK (RGBK) menggelar Webinar KGSB bertajuk Remaja dan Gawai pada Sabtu, 14 Mei 2022. Webinar ini bertujuan untuk memberikan wawasan kepada para guru tentang bagaimana mengedukasi siswa mengenai penggunaan gawai yang tepat.
Diikuti oleh ratusan guru dan pengajar dari tingkat PAUD hingga Perguruan Tinggi di Indonesia serta Timor Leste, webinar ini menghadirkan dua narasumber yang ahli di bidang psikologi dan pendidikan yaitu Sekretaris Program Studi Sarjana Psikologi/Psikolog Klinis Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, Nanda Rosalia, M.Psi dan Founder Rumah Guru BK serta Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti, M.Pd. CEP, CHt.
Founder KGSB, Ruth Andriani mengatakan bahwa gawai tidak bisa kita lepaskan dari para remaja saat ini. Karena penggunaan gawai dan internet adalah bagian dari perubahan zaman yang tidak mungkin kita tolak.
“Selama pandemi, penggunaan internet dan gawai menjadi semakin akrab di sisi remaja. Dalam dunia pendidikan, kemajuan teknologi juga menuntut para guru untuk turut memberikan edukasi kepada siswa agar bijak menggunakan gawai”, ujar Ruth.
Sekretaris Program Studi Sarjana Psikologi/Psikolog Klinis Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, Nanda Rosalia dalam paparannya menyebutkan bahwa selama ini sisi negatif gawai mendapat perhatian lebih banyak daripada sisi positifnya. Padahal bagi generasi sekarang, melakukan sesuatu tanpa bantuan gawai terasa menghambat.
Pemanfaatan teknologi dengan baik atau teknologi positif adalah pendekatan ilmiah dan terapan untuk meningkatkan kualitas pengalaman pribadi agar diri lebih sejahtera, memiliki kekuatan dan ketangguhan pribadi di masyarakat.
Setidaknya ada tiga pemanfaatan teknologi positif pada remaja, diantaranya yang pertama untuk kenikmatan hidup yang membuat diri merasa nyaman, senang, merasakan berbagai emosi positif. Contohnya mendengarkan musik favorit, bermain game dan sebagainya.
Kedua, pengembangan diri yang bertujuan untuk membuat diri merasa bermakna. Contohnya belajar via youtube dan google atau mengembangkan hobi dan keterampilan, e-training dan sebagainya. Ketiga, hubungan sosial untuk terhubung dengan orang lain atau komunitas, serta berpartisipasi dan berbagi. Contohnya bersosial media dan penggalangan dana sosial.
“Perubahan pada aspek fisik, kognitif, dan sosioemosional turut berdampak pada aspek sosial remaja. Pada hal ini, teman sebaya memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan keluarga. Saat ini teknologi dan sosial media bahkan menjadi alat bagi remaja untuk mencari jati dirinya dengan cara menemukan lingkungan yang mereka anggap nyaman”, ujar Nanda.
Masih dalam paparannya, Nanda menyebut bahwa seorang guru wajib piawai memanfaatkan teknologi agar dapat membimbing siswa memanfaatkan teknologi positif dari gawai, seperti memberikan tugas yang menggunakan teknologi. Banyak yang dapat dilakukan guru dalam memanfaatkan teknologi gawai. Misalnya dalam memanfaatkan sosial media, guru harus memahami sosial media yang hendak digunakan dan juga mudah untuk dipahami oleh semua siswa.
Guru modern tidak cukup hanya bisa menggunakan teknologi terbaru namun juga harus bisa membangun rasa senang belajar yang kemudian memunculkan daya pikir kritis dan jiwa kreatif siswanya. Untuk itu menjadikan tugas guru untuk tetap memberikan human touch yang menjadikan anak anak tetap santun, berempati dan berjiwa sosial.
Founder Rumah Guru BK serta Widyaiswara Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti memaparkan berdasarkan hasil survey Gregoria Serra, Unit of Pediatrics, Campus Bio-Medico University, Rome, Italia pada Juli 2021 bahwa terdapat perubahan tujuan penggunaan smartphone di kalangan remaja saat pandemi covid-19 dibandingkan pra-epidemi. Survey ini dilakukan pada anak Italia usia 6-18 tahun.
BACA JUGA:
Saat pandemi, penggunaan smartphone terfokus untuk koneksi manusia, pembelajaran dan hiburan. Ternyata terjadi peningkatan yang signifikan dari penggunaan berlebihan dan kecanduan. Sebelum pandemi, jumlah anak yang kecanduan gawai lebih sedikit dari anak yang berisiko tinggi kecanduan. Ironisnya setelah pandemi, jumlah anak yang berisiko menurun, namun anak yang kecanduan gawai meningkat.
“Kita sebagai tenaga pendidik harus menyadari potensi risiko terkait penggunaan ponsel cerdas yang tidak tepat. Salah satu peran Guru BK harus memantau, bekerja sama dengan orang tua, melihat kemungkinan efek samping terkait untuk mengenali tanda dan gejala awal yang mengarah atau berisiko tinggi kecanduan," Ana Susanti menambahkan.
"Kolaborasi adalah kunci dalam melakukan pemantauan. Guru BK perlu melakukan intervensi yang diperlukan untuk mencegah atau menurunkan dampak merugikan dari penggunaan smartphone secara berlebihan terhadap kesehatan anak dan remaja. Fokus kesehatan anak dan remaja, yang berorientasi untuk mempertahankan perkembangan fisik dan psikologis yang memadai serta hubungan sosial yang sehat", tutup Ana.