Bagikan:

JAKARTA - Pimpinan penelitian Dr. Francesca Solmi, dari Divisi Psikiatri University College London (UCL) di Inggris dan timnya baru-baru ini melaporkan temuan mereka dalam jurnal Psychological Medicine.

Kucing adalah salah satu hewan peliharaan paling populer di Amerika Serikat. Setidaknya ada lebih dari 30 persen rumah memelihara satu ekor kucing. Selain menjadi sahabat, penelitian juga telah membuktikan bahwa kucing dan hewan peliharaan lainnya ternyata dapat membawa manfaat bagi kesehatan mental seperti membantu mengurangi kecemasan dan stres, serta meningkatkan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan.

Namun beberapa penelitian justru menyatakan sebaliknya. Satu studi yang dilaporkan oleh Medical News Today pada tahun 2015, misalnya, mengaitkan kepemilikan kucing di masa kanak-kanak dengan peningkatan risiko skizofrenia, gangguan bipolar, dan kondisi kesehatan mental lainnya saat usia dewasa. Tetapi menurut Dr. Solmi dan rekan-rekannya, tidak ada cukup bukti yang menunjukkan kalau memelihara kucing berdampak pada buruknya kesehatan mental seseorang.

Di studi sebelumnya, melaporkan bahwa hubungan memelihara kucing dengan gangguan kesehatan mental berkaitan dengan Toxoplasma gondii, parasit yang dikeluarkan kucing melalui kotorannya. Kontak dengan kotoran kucing yang terkontaminasi parasit ini melalui pembersihan baki kotoran, misalnya dapat menyebabkan infeksi T. gondii, yang dikenal sebagai toksoplasmosis. Terbukti, lebih dari 60 juta orang di Amerika diyakini terinfeksi T. gondii.

Apalagi, wanita hamil diduga lebih rentan terhadap infeksi T. gondii, yang mungkin memiliki implikasi serius bagi keturunannya, seperti cacat lahir. Studi juga menyarankan bahwa infeksi T. gondii pada bayi baru lahir dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental di kemudian hari.

Sementara itu, banyak studi terbaru menunjukkan bahwa anak yang tumbuh dan berkembang dengan memelihara kucing justru tidak akan rentan mengalami penyakit mental. Dr. Solmi melakukan analisis data dari Avon Longitudinal Study of Parents and Children (ALSPAC), dengan mengidentifikasi 4.676 anak yang lahir antara tahun 1991 dan 1992 dengan kondisi ibu memelihara kucing saat mengandung. Setelah itu, setiap anak menjalani penilaian untuk gejala psikotik pada usia 13 dan 18 tahun.

Awalnya, para peneliti menemukan hubungan kecil antara kepemilikan kucing di masa kanak-kanak dan gejala psikotik pada usia 13 tahun. Namun, hubungan ini menghilang ketika tim memperhitungkan faktor lain.

“Setelah kami mengontrol faktor-faktor seperti kepadatan rumah tangga dan status sosial ekonomi, data menunjukkan bahwa kucing tidak bisa disalahkan,” jelas Dr. Solmi. “Penelitian sebelumnya melaporkan hubungan antara kepemilikan kucing dan psikosis terbukti gagal karena kesehatan mental juga erat kaitannya dengan faktor-faktor kesejahteraan hidup,” lanjut Dr.Solmi.

Selain itu, tim juga mengatakan penelitian sebelumnya relatif kecil, memiliki data yang kurang akurat, dan tidak mengikuti keluarga untuk waktu yang lama. Dan studi terbaru yang dilakukan Dr. Solmi mengatasi kekurangan ini.