Tertawa Bahagia Ternyata Bisa Menular, <i>Kok</i> Bisa? Ini Alasannya
Ilustrasi kenapa tertawa bisa menular (Unsplash/Antonino Vasalli)

Bagikan:

YOGYAKARTA – Banyak studi menelusuri aspek sehari-hari yang berkaitan dengan kebahagiaan. Termasuk tertawa, yang menurut peneliti dari Finlandia dan Inggris, dapat memicu pelepasan endorfin dan berperan dalam membangun ikatan sosial.

Profesor Lauri Nummenmaa dari University of Turku di Finlandia, dilansir Medical News Today, Rabu, 30 Maret, mengatakan bahwa pelepasan endorfin dari tawa sosial merupakan jalur yang mendukung pembentukan, penguatan, dan pemeliharaan ikatan sosial antara manusia.

Hasil studi Nummenmaa diterbitkan dalam The Journal of Neuroscience, menunjukkan bahwa pelepasan endorfin berefek menyenangkan dan menenangkan. Mungkin juga menandakan keamanan dan meningkatkan perasaan kebersamaan. Profesor Robin Dunbar dari Universitas Oxford di Inggris menambahkan, komunikasi verbal penting dalam membangun ikatan sosial.

Meski dalam kontak sosial memakan waktu, tawa sosial mengarah pada respons kimia serupa endorfin di otak yang memungkinkan untuk perluasan jaringan sosial. Dari temuan tersebut, Dunbar menggarisbawahi bawa tawa sangat menular dan respons endorfin dapat dengan mudah menyebar melalui kelompok besar yang tertawa bersama.

kenapa tertawa bisa menular
Ilustrasi kenapa tertawa bisa menular (Unsplash/iStockphoto)

Tertawa merupakan hal yang bisa dikatakan primitif. Namun semua manusia memilikinya dan bisa mengembangkannya sebagai respons atas rangsangan. Seperti ketika Anda berada di satu kelompok pertemanan, satu orang menceritakan kisahnya yang lucu sambil tertawa. Meski perlu waktu dalam memproses cerita dan berkaitan dengan ukuran kedekatan, tawa bahagia bisa pecah dan menular dalam kelompok tersebut.

Manusia, sebagai ‘hewan’ sosial, menurut satu teori mengatakan bahwa tawa disertai ucapan verbal bisa membantu untuk membangun keterikatan. Daripada harus secara fisik, dalam jarak pendengaran seseorang bisa membuat orang yang lain tertawa. Ikatan ini juga bisa dibangun dari jarak jauh. Bahkan dengan lebih banyak orang.

Sebuah studi yang dilakukan Elise Wattendorf, dkk. diterbitkan dalam jurnal Cerebral Cortex tahun 2013 menggunakan pemindaian MRI untuk menyelidiki bagian otak mana yang bekerja. Peserta dalam penelitian tersebut dibagi menjadi 3 kelompok. Pertama, digelitiki pada telapak kaki dan boleh merespons dengan tawa. Kedua, digelitiki tetapi diminta menahan tawa dan kelompok ketiga diminta tertawa secara sukarela tanpa digelitiki.

Ketika tertawa empat bagian otak bekerja, hipotalamus lateral yang terlibat dalam mengurangi perepsi nyeri, fungsi pencernaan, dan tekanan darah; operculum parietal yang bertanggungjawab untuk memproses indera dari sentuhan dan suhu; amygdala yang terlibat dalam pemrosesan ingatan, pengambilan keputusan, dan reaksi emosional; otak kecil kanan berhubungan dalam perhatian pada bahasa, visual, dan membayangkan keadaan orang lain.

Melalui studi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa tertawa bisa menjadi obat. Dalam bidang psikoneuroimunologi, tertawa memiliki efek terapeutik. Sebuah penelitian yang diterbitkan di Heart & Lung menyelidiki manfaat tawa bagi individu dengan penyakit paru obstruktif kronik.

Tertawa dan humor antara pasien berkaitan dengan fungsi psikologis positif serta peningkatan kualitas hidup. Namun tertawa keras bagi pasien tersebut menyebabkan kerusakan akut pada fungsi paru sekunder akibat hiperinflasi yang memburuk.

Studi lainnya meneliti pasien dengan masalah pada pembuluh darah, jantung, dan depresi. Hasil dari ketiga studi tersebut menampakkan manfaat positif dari tertawa karena lucu dan memicu perasaan bahagia.