JAKARTA - Marissa Anita dinobatkan sebagai Pemain Pendukung Wanita Terbaik Festival Film Indonesia 2021 lewat perannya sebagai Mia dalam film Ali dan Ratu Ratu Queens. Pencapaian ini adalah buah dari usahanya menekuni dunia akting usai bergelut dalam jurnalisme.
Perempuan kelahiran Surabaya, 29 Maret 1983 ini sebelumnya dikenal sebagai jurnalis dan presenter. Berbekal pengalaman teater saat kuliah, Marissa menjajal akting lewat film pendek Broken Vase pada 2010.
Selanjutnya, koleksi filmografi Marissa bertambah dengan bermain dalam film Wanita Tetap Wanita (2012), Selamat Pagi, Malam (2014), 3 Nafas Likas (2014), Istirahatlah Kata-kata (2017), Galih dan Ratna (2017), A Mother's Love (2018), Gundala (2019), dan yang terbaru Perempuan Tanah Jahanam (2019).
Setelah Ali dan Ratu Ratu Queens yang memberikannya Piala Citra, Marissa bergabung dalam film Yuni. Film karya sutradara Kamila Andini ini menyoroti kehidupan remaja di kampung yang ingin mengejar cita-cita namun dikejar stigma perempuan pantasnya segera menikah.
Film Yuni terpilih menjadi perwakilan Indonesia untuk kategori The International Feature Film di ajang Academy Award atau Oscar 2022. Pemain utamanya, Arawinda Kirana mendapatkan Piala Citra sebagai Pemeran Utama Wanita Terbaik FFI 2021. Terbaru, dia mendapat penghargaan Silver Yusr Award kategori aktris terbaik di Red Sea International Film Festival (RSIFF) 2021.
Menjadi bagian dari film Yuni yang syarat akan prestasi, Marissa mengaku bangga. "Saya sebagai salah satu pemain di film Yuni ya senang. Kita nggak usah ngomongin penghargaan dulu, filmnya aja adalah film yang sangat indah. Kebetulan mengusung isu yang sangat penting untuk hak perempuan secara umum tapi ditampilkan dalam bentuk Yuni," katanya saat bertandang ke Kantor VOI, Rabu, 15 Desember.
Dari dulu sampai sekarang, perjuangan perempuan adalah pendidikan, itulah yang ditampilkan dalam film Yuni. "Saya baca data, ternyata perempuan yang sekolah tinggi dibanding dengan laki-laki itu masih sangat sedikit. Untuk master aja jarang banget ya perempuan. Terus saya pikir gini, 'hah, gila banget ya sementara saya sudah cukup beruntung mengecap S2 dua kali'," lanjutnya.
Marissa berharap, film Yuni dapat membuat penonton terbuka dengan fakta yang terjadi di masyarakat. "Di tahun 2021 sebentar lagi 2022 seharusnya perempuan punya banyak kesempatan untuk mendapat pendidikan tinggi. Ini salah satu yang saya rasa berusaha ditampilkan di film Yuni. Bahwa perempuan punya hak yang sama. Nggak usah ngomongin feminisme, kita cuma mau ngomong tentang kesetaraan hak sebagai manusia. Perempuan dan laki-laki sama-sama manusia, jadi seharusnya punya hak yang sama," tegasnya.
Ketika Marissa ditawarkan untuk berperan sebagai ibu guru Lis, guru Yuni, Marissa mengaku senang. Dia tidak membayangkan kalau film Yuni ini memberikan dampak yang luar biasa secara sinematik.
BACA JUGA:
"Saya mau main karena saya mengikuti rekam jejak Kamila Andini. Cara bercerita Kamila itu sederhana, tapi di akhir film biasanya kita akan merasakan perasaan luar biasa. Padahal ceritanya subtil banget, kayak dia naruh kamera ngikutin cerita pemeran utama, tapi di akhir berasa mengejutkan. Jadi nggak pernah menyangka reaksinya akan sebaik ini. Terutama bagi penonton," papar Marissa Anita.
SERIUS AKTING KARENA CINTA
Keseriusan Marissa dalam berakting, menurutnya, berawal dari pengalaman masa kecilnya yang indah bersama ayahnya. "Mungkin saya harus berterimakasih pada mendiang Bapak saya. Saya sejak tiga tahun sudah diajak nonton. Yang paling berkesan pertama kali, film horor Re-Animator. Tapi ya itulah awal perkenalan saya dengan film di usia empat tahun. Sejak itu kecintaan saya pada film tumbuh tanpa sadar. Karena Bapak saya suka pinjam video, rental DVD, sampai ke streaming sekarang," katanya.
Keinginan untuk menikmati film berlanjut ketika Marissa remaja gemar nonton ke bioskop. Setiap minggu, kenangnya, dia selalu menonton ke bioskop meskipun sendirian. "Saya bisa ke bioskop sendirin setiap week end ketika remaja. Mungkin itu awal kecintaan saya pada dunia bercerita. Sebenarnya film dan jurnalisme itu sama, benang merahnya bercerita," paparnya.
Kunci akting Marissa ternyata ada pada pengalaman main teater. "Tak banyak yang tahu sebelum masuk jurnalis saya main teater. Jauh lebih lama daripada saya jadi jurnalis. Cuma teater amatir, ya sudah ternyata mendapat kesempatan main film saya merasa beruntung bekerjasama dengan sutradara yang sangat mahir dalam membuat film," ujarnya seraya bersyukur.
Marissa bisa dibilang 'pemain baru' dalam film. Belum genap sepuluh tahun berakting, Marissa telah mengoleksi Piala Citra. Pencapaian ini tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
"Nggak, nggak pernah ya membayangkan dapat Piala Citra. Waktu kemarin memang itu saya kaget luar biasa. Karena dalam kategori yang sama itu pemain yang hebat. Dan ketika dapat ya bersyukur sekali. Saya melihat Piala Citra itu apresiasi dari sesama pelaku sinema," katanya.
"Dapat piala atau tidak dapat piala, saya akan terus konsisten akting. Bukan pialanya yang saya cari tapi kenikmatan bermain peran yang saya cari. Semoga masih akan ada yang terus ngajak main film," harapnya.
Film, menurutnya, punya kekuatan sangat magis. "Setiap kali nonton film itu saya bahagia sekali. Dan setiap main film saya juga mendapat pengalaman merasuk ke dalam peran yang luar biasa. Saya suka sekali. Film tidak akan pernah lepas dari kehidupan saya. Mau jadi aktor atau penikmat saja, saya akan selalu ada untuk film," tegasnya.
Ketika menerima tawaran bermain film, dua hal yang akan menjadi pertimbangan Marissa Anita. Pertama sutradara, kedua skenarionya. "Kalau ada yang mau kolaborasi biasanya saya minta dua hal itu," paparnya.
Pengalaman hidup Marissa memperkaya pendidikan yang telah dilaluinya. Sebagai wanita, Marissa meyakini pendidikan sangat penting untuk masa depan keluarga.
"Bayangkan kalau anak-anak itu punya masa kecil yang baik. Dalam arti dalam pertumbuhan menjadi manusia yang lengkap harus dimulai dari kecil. Saya dari kecil tidak punya masa kecil yang dianggap bahagia. Jadi ketika saya dewasa saya concern bagaimana semua anak punya masa kecil yang bahagia sehingga tidak hidup dalam ketakutan sehingga bisa berfikir. Kehidupan saya dewasa ini saya habiskan untuk mengejar apa yang tidak saya punya di masa kecil, struggle sebetulnya," papar Marissa.
"Saya bukannya menyesali, tapi saya pikir sebisa mungkin anak kecil itu nggak perlu gedenya seperti saya yang ketika dewasa harus mencari kenapa ya gue tuh gini. Kenapa ya, kayak masih banyak bagasi yang belum selesai. anak itu seharusnya tidak mengalami trauma. Sehingga ketika dewasa bisa menjadi manusia fungsional, jadi ketika menjadi manusia dewasa dia bisa membuat keputusan yang fungsional dan baik bukan cuma untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain di sekitarnya," tegasnya.
Marissa Anita merupakan salah satu artis Indonesia yang dikenal dengan kecerdasannya. Selain piawai berakting dan menjadi presenter, Marissa menguasai 5 bahasa. Yakni bahasa Indonesia, Jepang, Prancis, Mandarin, dan Italia.
Menjadi bagian dari dunia hiburan, Marissa tak tergiur untuk mengejar popularitas. Sejak tahun 2016 lalu Marissa Anita mengurangi aktivitasnya di media sosial. Hanya Twitter saja yang masih dipertahankan. Mengapa?
"Karena saya hanya manusia, saya tahu saya akan kalah dengan teknologi. Twitter saya ambil dengan pemikiran, karena orientasi saya bukan ke foto tapi saya senang berbagi pemikiran pakai kata-kata akhirnya memutuskan untuk pakai Twitter," jelas Marissa Anita.